Ikut atau Terlindas Zaman? (Yuk, Manfaatkan Transaksi Digital Untuk Kemajuan Ekonomi Nasional)

“Langkah pertama adalah menetapkan bahwa sesuatu itu mungkin, maka kemungkinan itu akan terjadi.” Elon Musk


Dari Era ke Era
Perubahan zaman adalah keniscayaan. Seperti halnya bumi yang terus berputar dari waktu ke waktu, corak zaman pun tak luput dari roda perubahan. Tak ada manusia yang bisa mengingkarinya. Sekilas mari kita tengok ke belakang dan setelahnya sila ambil kesimpulan. Ke zaman purba. Corak kehidupan pada zaman itu adalah berburu untuk mengumpulkan makanan. Hidup nomaden atau berpindah-pindah dari gua ke gua. Masih sangat sederhana.


Zaman nomaden pun mengalami perubahan besar atau kita namai revolusi. Manusia pada zaman itu mulai menemukan dan menguasai ilmu bercocok tanam. Juga mulai memelihara hewan ternak. Corak kehidupan berubah dari yang semula hanya meramu (mengumpulkan) menjadi menghangsilkan (produksi) makanan. Gaya hidup pun berubah. Manusia mulai tinggal menetap dan membangun rumah tinggal.


Era pertanian ini lama kelamaan pun memasuki masa perubahan. Proses produksi atau jasa dianggap sulit karena hanya mengandalkan otot (tenaga manusia dan hewan), tenaga angin dan tenaga air yang tentu saja tak efisien. Karena prosesnya memakan waktu lama, dan membutuhkan biaya besar.


Lalu pada abad ke 18 seorang ilmuan bernama James Watt menemukan mesin uap bertenaga air. Dunia kembali berada di gerbang transisi. Perubahan zaman kali ini dikenali sebagai Revolusi Industri. Kehidupan manusia pun berubah corak. Revolusi ini seterusnya diikuti oleh evolusi-evolusi lanjutan. Mesin uap terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang tak terhentikan.


Corak kehidupan manusia pun mengalami perubahan dalam segala sisi. Terjadi perubahan masif di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi yang terus berkembang. Revolusi Industri juga membawa peningkatan pada taraf ekonomi masyarakat.


Bumi kian larut berputar. Dan kini zaman kembali menghendaki perubahan. Kita yang hidup di abad mileneal ini mau tak mau sedang berevolusi ke bentuk baru. Inilah eranya Revolusi Digital. Akan seperti apa nantinya, kita hanya bisa menebak-nebak. Karena setiap revolusi akan diikuti oleh evolusi-evolusi lanjutan. Perubahan ini tak akan terhentikan.


Seperti pisau bermata dua, revolusi akan melahirkan dua tipe manusia. Mereka yang terus melaju di atas ombak perubahan, dan mereka yang memilih bertahan sebagai pecundang lalu tumbang lantas hilang.


Kita yang hidup di zaman ini tentu bisa melihat perubahan yang sedang terjadi. Dunia digital memasuki nyaris seluruh sisi kehidupan, termasuk bidang ekonomi. Belakangan ini santer kita dengar perekonomian merosot karena turunnya daya beli dan pasar lesu. Ditandai dengan sepinya pusat perbelanjaan dan banyaknya gerai-gerai serta kios-kios yang gulung tikar.

Namun anehnya, di saat yang sama angka penjualan e-commerce malah meroket naik. Penjualan melonjak 50% dari tahun sebelumnya. Lalu ini artinya apa?


Sebelum menyadari apa yang terjadi, mari tengok sekilas ke masa lalu. Tentu anda masih ingat perusahaan dagang VOC di zaman penjajahan dulu, bukan? Perusahaan raksasa asal Belanda ini menjelajah hingga ke pelosok Nusantara dengan ribuan armada kapal layarnya. VOC menopoli hasil pertanian Nusantara lalu dibawa ke barat sana.

Namun VCO akhirnya kandas. Dari catatan sejarawan kita mengetahui penyebabnya adalah korupsi di tubuh perusahaan dan utang yang terlampau besar. Tapi apa benar hanya karena itu saja?


Analisis Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya berjudul The Great Shifting mengenai kejatuhan VOC ini cukup mencengangkan saya dan mungkin juga anda. Bahwa VOC adalah korban perubahan zaman. VOC tumbang ketika dunia sedang menghadapi Revolusi Industri.


VOC mempunyai ribuan armada kapal layar. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah armada pesaingnya EIC (East India Company) asal Inggris. Armada VOC masih digerakkan oleh angin. Sedangkan armada pesaingnya sudah memakai kapal uap yang tentu saja lebih cepat. Singkat cerita, VOC kalah bersaing dan akhirnya tumbang dilindas zaman karena tak siap mengikuti perubahan zaman. Fenomena inilah yang kembali terjadi di era digital ini. Banyak perusahaan terancam gulung tikar. Sistim lama mulai ditinggalkan oleh sistim baru yang dianggap jauh lebih praktis.

Sistim Transaksi dari Masa ke Masa
Untuk hal bertransaksi, pada tahun 6000 SM manusia menukar barang dengan barang demi mendapatkan hal yang dibutuhkannya. Lantas muncul masalah. Mereka kesulitan dalam penetapan nilai barang.


Contoh sederhananya begini. Si A butuh sebungkus garam dari si B buat bikin acar sayur. Tapi barang yang A punya itu cuma seekor domba. Kalau domba ditukar dengan sebungkus garam tentu saja tak sepadan. Nah, akhirnya muncullah sistem pertukaran baru. Dengan uang, baik logam maupun uang kertas. Lalu, untuk bisa bertransaksi mereka butuh satu tempat khusus. Muncullah yang namanya pasar. Lama-lama pasar mengalami perubahan juga seperti yang ada sekarang, pasar tradisional dan pasar moderen.


Akibat “ketegesa-gesaan” zaman, manusia makin tak punya waktu lagi untuk ke pasar. Di sisi lain bidang teknologi informasi kian mengalami kemajuan pesat dan hadir menawarkan inovasi baru sebagai solusi yang bernama pasar online. Warga milenial pun mulai bertransaksi secara virtual atau online dan perlahan meninggalkan cara lama.


Di samping itu bentuk uang pun mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Yang dulunya cuma ada dalam bentuk fisik, sekarang sudah beralih dalam bentuk digital dengan berbagai vairan. Bertransaksi tanpa tatap muka selain cepat, juga dinilai lebih aman dari kasus pencurian atau pencopetan.


Dan pandemi covid-19 saat ini adalah momentumnya. Revolusi Digital telah benar-benar terjadi dan tengah berlangsung di depan mata. Khususnya di bidang ekonomi, “ledakan” peralihan sistim ekonomi baru itu makin jelas terasa. Sebut saja ia dengan istilah digitalisasi ekonomi. Atau ekonomi digital.


Ya, begitulah zaman, selalu membawa perubahan. Yang mudah beradabtasi akan melenggang ke masa depan dengan ringan. Sebaliknya yang tak siap dengan perubahan ini, pelan tapi pasti akan tergerus oleh arus perubahan, tenggelam lalu hilang. Silakan pilih, mau jadi pihak yang mana?

Apa itu Ekonomi Digital?
Teknologi digital mengalami perkembangan yang sangat dasyat dan berdampak sangat signifikan pada kegiatan manusia. Segala kegiatan yang berbau konvensional kini bergeser ke sistim digital. Para pakar menyebutnya sebagai era new normal.


Hal ini juga berdampak pada kegiatan perekomian. Seperti yang kita saksikan sekarang, banyak gerai-gerai perbelanjaan konvensional yang tutup atau gulung tikar. Sementara di sisi lain usaha-usaha jasa pengiriman barang tumbuh subur. Artinya transaksi jual beli tetap berjalan, hanya saja dalam bentuk baru. Yakni transasksi digital. Sekali lagi, inilah eranya ekonomi digital.


Belum lama ini toko online Amazon yang terbesar di dunia itu, mencatatkan sejarahnya. Disaat perusahaan lain merugi dan mengurangi karyawan, mereka justru mengalami kenaikan penjualan 26% selama kuartal I-2020 dan merekrut ratusan ribu karyawan baru.

Ini sangat mencengangkan. Dan tentu ada banyak kisah sukses lainnya yang mendapatkan berkah dan momentumnya selama masa pandemi ini karena memanfaatkan ekonomi digital.


Oh ya, pengertian ekonomi digital sendiri adalah segala bentuk aktivitas ekonomi yang memanfaatkan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Termasuk bertransaksi jual beli, pemasaran, dan lainnya yang dapat mempengaruhi perekonomian.

Indoensia Sangat Potensial
Di Indonesia sendiri ekonomi digital berkembang sangat signifikan. Hal ini diketahui dengan bermunculannya startup baru bak jamur di musim hujan. Istilah startup sendiri berarti perusahaan rintisan (baru) yang umumnya bergerak di bidang teknologi dan informasi di dunia maya (internet).


Startup terbagi dua. Ada e-commerce (electronic commercial) dan FinTech (finantial technology). E-commerce lebih kita kenal sebagai platform jual beli, sedangkan fintech untuk pelancar proses jual beli (pembayaran). Seperti payment system untuk token listrik PLN, penggalangan dana seperti KitaBisa.com dan lain sebagainya.


Beberapa e-commerce di Indonesia diantaranya sudah berkembang jadi bisnis unicorn. Sebut saja Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, Ovo, dan JD.ID. Oh ya, istilah unicorn sendiri ialah sebutan untuk perusahaan teknologi rintisan atau startup yang mencapai nilai 1 miliar dollar AS atau setara 14,1 triliun berdasarkan valuasi atau penilaian dari investor privat atau publik.


Inilah eranya Revolusi Digital dimana perubahan zaman harus kita hadapi dengan pola pikir baru. Inilah era platform yang bukan lagi era persaingan produk (produc based). Jika pada era produk ada produk (barang/jasa) yang diperdagangkan, maka pada era platform ini tidak menghasilkan dan menjual produk, tapi mempertemukan antara suplly-demand. Mengelola interaksi yang jangkauannya luas. Untuk contohnya kita bisa lihat pada startup Gojek, dimana pihak platform mempertemukan kepentingan antara tukang ojek dan penyewa jasa ojek.

Pengguna teknologi di Indonesia makin meningkat jumlahnya. Menurut data dari Ernest & Young, peningkatan transaksi pada e-commerce mencapai 40% per tahunnya. Dan dari data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pengguna internet di Indonesia diperkirakan berjumlah 196,7 juta jiwa hingga kuartal II 2020. Sedangkan jumlah populasi di Indonesia menurut BPS ada sekitar 266 juta jiwa.


Dengan angka sebanyak itu tidak heran jika masyarakat Indonesia bisa mengangkat isu-isu terkait dan menjadikannya trending topic di dunia. Namun kalau internet hanya dipakai untuk sekedar jadi alat komunikasi mobile semata, tentu sangat disayangkan karena sudah melewatkan peluang sangat besar. Indonesia belum bisa memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk peningkatan produktivitas dan membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi.


Menurut Google, Temasek, dan Bain & Company pada 2019, Indonesia memiliki perkembangan ekonomi internet terbesar dan tercepat di kawasan Asia Tenggara. Tentu saja ini merupakan potensi yang harus digarap dengan cakap agar bisa melahirkan enterpreneur digital baru dan perusahaan digital rintisan baru (startup) di Indonesia. Terlebih Indonesia punya modal populasi yang didominasi kaum milenial yang sangat adaptif terhadap perkembangan teknologi baru.


Kesempatan untuk menjelajahi dunia digital masih sangat terbuka lebar. Akan banyak tercipta lowongan perkerjaan di bidang ini seiring perkembangan teknologi yang makin deras. Dan tentunya jika digarap maksimal, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sangat positif. Indonesia akan jadi negara besar yang disegani di dunia.

Ayo Ambil Bagian
Jika kita mundur ke ratusan tahun lalu, gaya hidup manusia saat ini pastilah dianggap sihir. Bagaimana mungkin bisa berbelanja hanya dengan gesek-gesek jempol di layar, lalu barangnya muncul di depan pintu rumah?

Bahkan mungkin tak pernah terpikirkan, orang yang berada di benua Afrika bisa mengbrol dengan orang di Indonesia lewat sebuah layar kecil saja. Ajaib, kan? Dan kini keajaiban itu makin menjadi-jadi hadir di depan mata. Lalu, apakah kita hanya akan jadi penonton di pinggiran saja atau ikut terlibat?


Inilah zamannya menjadi seorang CEO terbilang mudah. Atau tak sesulit dulu lagi. Caranya, dirikan startup dan bangun bisnis digital maka anda sudah bisa menyandang label itu. Banyak, kok, contoh suksesnya dari kalangan milenial.

Sebut saja Ahmad Zaky, founder dan CEO Bukalapak. Muhammad Alfatih Timur, co-founder dan CEO Kitabisa.com. Nadem Makarim, founder dan CEO gojek yang sekarang jadi mentri pendidikan. Amanda Susanti, co-founder dan CEO Sayurbox, dan banyak lagi nama-nama lainnya. Masih banyak celah, kesempatan besar untuk meraih sukses di era ekonomi digital ini. Elon Musk bilang, “jangan takut dengan arena baru!” Mulai saja dulu.

Anda tentu setuju bahwa kenaikan suhu bumi bermula sejak era Revolusi Industri, bukan? Dimana era ini ditandai dengan pola pikir menumpuk aset dan kekayaan sebanyak-banyaknya adalah ciri kesuksesan. Mengeruk alam sebanyak mungkin demi kepentingan pribadi dan kelompok adalah cara menjadi kaya raya.

Nah, pada era Revolusi Digital ini ada angin segar yang cukup melegakan warga bumi ini. Perlahan terjadi pergeseran pola dari yang semula berpola owning economy menjadi sharing economy. Dan semoga inilah jalan keluar atas kerusakan lingkungan yang kian parah belakangan ini.

Era Baru dengan Pola Pikir Baru
Gaya hidup praktis dan efisien jadi cara pandang dan perilaku baru di zaman Revolusi Digital ini. Contoh nyatanya bisa dilihat pada platform-platform yang bermunculan di berbagai belahan dunia.

Seperti penyewaan kamar rumah yang biasanya hanya dilakukan oleh hotel/penginapan, kini bisa dilakukan oleh pemilik rumah mana pun asal telah tergabung ke platform. Atau seperti fenomena sehari-hari belakangan ini. Tak perlu lagi membeli mobil pribadi untuk pergi ke tujuan. Cukup pesan lewat aplikasi, maka anda akan mendapatkan tumpangan serasa milik pribadi.


Penyewaan mobil atau motor juga ada di mana-mana. Ini memudahkan pelancong manca negara mengakses tempat baru dengan kendaraan sewaan dari aplikasi. Pemilik yang kendaraannya menganggur akan mendapatkan bayaran. Pelancong pun semakin mudah mengakses destinasi tujuan dengan transportasi berbiaya murah.

Tak ada keraguan menyewakan barang pribadi karena adanya jaminan dari pihak platform. Jika di dunia nyata kita menyebutnya “kepercayaan”, maka di dunia digital ia disebut “rating”. Ia adalah modal dasar dalam berbisnis apapun.


(“JIka anda membuat konsumen tidak senang di dunia fisik, mereka mungkin akan bercerita kepada 6 orang temannya. Namun jika anda membuat mereka tidak senang di internet, masing-masing mereka bisa memberitahukan kepada 6000 orang teman.” Jeff Bazos, pendiri dan CEO Amazon.com)


Fenomena ini tentu akan mendatangkan banyak sekali ide bisnis. Contoh, anda bisa membuat platform baru yang menyediakan penyewaan mesin potong rumput, alat catok rambut, bor listrik, mesin jahit, mesin cuci, atau bahkan vacum cleaner. Barang-barang tersebut biasanya hanya dipakai sesekali saja padahal harga belinya mahal. Ini peluang bisnis yang bisa menguntungkan banyak pihak.


Prinsip berpikirnya begini, jika aset menganggur itu bisa berguna bagi orang lain dan bisa menghasilkan uang, kenapa tidak disewakan saja? Sedangkan di pihak konsumen pola pikirnya begini, jika bisa disewa kenapa harus membeli dengan harga mahal? Toh akan dipakai sesekali saja.


Di beberapa kota besar dunia ada aplikasi yang menawarkan makan siang ala rumahan. Pelanggannya rata-rata karyawan kantoran. Dan rata-rata sellernya adalah ibu-ibu rumah tangga yang hobi masak. Pada jam makan siang konsumen berkumpul di rumah seller. Konsumen cukup membayar sekian dolar maka mereka bisa merasakan makan ala rumahan, berkumpul, serta menambah relasi pertemanan dengan sesama pelanggan lainnya.


Dalam kasus ini, hobi masak jadi tersalurkan dan konsumen mendapatkan apa yang diinginkan. Begitu pun dengan pengasuh platform, semua sama-sama diuntungkan. Sebuah perilaku baru yang dulunya tak pernah ada, bukan?


Di kota Medan sana ada startup Mapaya yang menawarkan katering enak, harga terjangkau dengan kualitas sekelas restoran. Konsepnya sama dengan Kulina yang beroperasi di Jakarta sana. Makanan yang dulu hanya ada di restoran mahal dan berkelas kini bisa diakses siapa saja dengan mudah dan murah. Strata sosial pada makanan perlahan mulai luntur.


Telah terjadi pergeseran pola pikir dan pola hidup di zaman ini. Dari pada membiarkan barang atau aset tak terpakai lebih baik disewakan dan mendatangkan pemasukan. Bisa disimpulkan bahwa gaya hidup konsumtif sudah tak cocok lagi untuk era digital ini. Mari ucapkan selamat tinggal pada gaya hidup lama yang terkesan berlebihan dan merusak alam itu. Selamat datang di kehidupan digital.

Langkah Bank Indonesia (BI)
Masyarakat di era ini sudah tak terpisahkan dari smartphone, gejed berteknologi tinggi yang bak magnet itu. Inilah peluang baru yang memerlukan strategi baru. Untuk itu Bank Indonesia melakukan tiga langkah dalam rangka mendorong perkembangan ekonomi digital sebagai new source of economic growth (sumber pertumbuhan ekonomi baru melalui tiga strateginya. Seperti berikut ini:
1.) Menetapkan Visi Sistim Pembayaran Indonesia 2025.
1.) Mendorong peningkatan eletroniksasi transaksi pembayaran.
3.)Mendorong program persiapan pemasaran online UMKM (on boarding UMKM) ke ekonomi digital.


BI terus mendukung kemajuan perekonomian khususnya di platform digital dengan menghadirkan QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard) sebagai inovasi kebjakan guna mendorong integrasi ekonomi dan keuangan digital.


QRIS adalah standar QR Code untuk pembayaran melalui aplikasi uang eletronik served based, dompet eletronik, atau mobile banking. Dengan adanya QRIS transaksi pembayaran bisa lebih efisien atau murah, inklusi keuangan di Indonesia lebih cepat, UMKM bisa lebih maju, dan akhirnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.


Ekonomi digital merupakan angin segar bagi industri UMKM. Baik yang ada di perkotaan maupun di pelosok Indonesia. UMKM bisa memanfaatkannya untuk memasarkan produk dan jasa dengan jangkauan lebih luas, lebih murah, dan mudah.


Dari data yang diterbitkan Kementrian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM), baru sekitar 9 juta UMKM atau sekitar 13% yang terhubung dengan ekonomi digital. Padahal dengan ekonomi digital UMKM tak sekedar memperluas pasar, tapi juga bisa membuka sumber pemodalan usahanya. Harapan ke depan semoga semakin banyak pelaku UMKM yang memanfaatkan ekonomi digital untuk hasil yang lebih baik lagi.

Do It Now!
Siap untuk menjadi Elon Musk, Jack Ma, Nadiem Makarim, atau Jeff Bazos berikutnya? Bersegeralah persiapkan diri. Tentukan target dan fokus bisnisnya. Ini era baru. Siapa saja bisa ambil bagian di dunia digital dan meraih mimpinya. Generasi mileniai harus manfaatkan peluang besar ini. Masih sangat banyak peluang digital yang belum tergarap, khusunya di Indonesia.


Ayo membuka diri pada kebaruan zaman. Pertajam pendengaran dan pikiran. Maksimalkan kecerdasan yang sudah Tuhan beri. Apa yang sedang dibutuhkan orang-orang dan jadi permasalahan, maka di sana kita hadir menyajikan penawaran dan jawaban. Seperti yang dibilang Elon Musk di awal tadi, langkah pertama adalah menetapkan bahwa sesuatu itu mungkin, maka kemungkinan itu akan terjadi. Tunggu apa lagi? Do it now!


(Artikel ini diikutsertakan dalam blogcontest yang diselenggaran Bank Indonesia bekerjasama dengan PT. Media Televisi Indonesia)