Dulu sekali, kami, saya dan almh. Nenek sering ke dapur bareng. Ke dapur, istilah lokal kami yang berarti beraktivitas di dapur. Entah itu memasak, mengadon, atau sekedar berbincang dengan tetangga sambil menunggu makanan matang. Saya yang cuma anak bawang di antara nenek-nenek dan mandeh, sering kebagian jadi pesuruh. Jika ada bumbu yang kurang maka sayalah yang diutus ke warung terdekat. Sebal? Tentu tidak. Sebab keluar dari sana berarti merdeka dari pekerjaan dapur itu. Tapi lebih seringnya nenek meminta saya mangukua, memarut kelapa dengan alat parut manual. Sebatang besi yang dibuat pipih ujungnya seluas sendok makan, dibengkokkan dengan permukaan menghadap ke atas. Pinggirannya bergerigi seperti mata gergaji. Besi panjang itu dipakukan ke balok kayu seukuran duduk orang dewasa.
Butuh gaya khusus juga saat mangukua dengan alat ini. Salah satu lutut mesti ditumpukkan ke batang besi yang dibuat miring setinggi lutut itu. Lantas kedua tangan fokus di batok kelapa yang dipotong belah dua tersebut. Kelapa digesek-gesekkan ke mata besi hingga menghasilkan ampas. Ampas inilah yang akan jadi bahan santan untuk membuat gulai dan lainnya. Setau saya, kalau di rumah Ibu, kami biasanya tak serepot ini saat manggulai. Ada mesin parut listrik yang bisa disewa di pasar tradisional. Tapi nenek bukan orang yang suka hal instan. Buktinya saya wajib mencobakan alat ajaib itu. Mungkinkah ini balas dendam yang terselubung? :v