Bercermin pada santan kelapa

FIlosofi santan kelapa

FIlosofi santan kelapa

  Dulu sekali, kami, saya dan almh. Nenek sering ke dapur bareng. Ke dapur, istilah lokal kami yang berarti beraktivitas di dapur. Entah itu memasak, mengadon, atau sekedar berbincang dengan tetangga sambil menunggu makanan matang. Saya yang cuma anak bawang di antara nenek-nenek dan mandeh, sering kebagian jadi pesuruh. Jika ada bumbu yang kurang maka sayalah yang diutus ke warung terdekat. Sebal? Tentu tidak. Sebab keluar dari sana berarti merdeka dari pekerjaan dapur itu. Tapi lebih seringnya nenek meminta saya mangukua, memarut kelapa dengan alat parut manual. Sebatang besi yang dibuat pipih ujungnya seluas sendok makan, dibengkokkan dengan permukaan menghadap ke atas. Pinggirannya bergerigi seperti mata gergaji. Besi panjang itu dipakukan ke balok kayu seukuran duduk orang dewasa.

  Butuh gaya khusus juga saat mangukua dengan alat ini. Salah satu lutut mesti ditumpukkan ke batang besi yang dibuat miring setinggi lutut itu. Lantas kedua tangan fokus di batok kelapa yang dipotong belah dua tersebut. Kelapa digesek-gesekkan ke mata besi hingga menghasilkan ampas. Ampas inilah yang akan jadi bahan santan untuk membuat gulai dan lainnya. Setau saya, kalau di rumah Ibu, kami biasanya tak serepot ini saat manggulai. Ada mesin parut listrik yang bisa disewa di pasar tradisional. Tapi nenek bukan orang yang suka hal instan. Buktinya saya wajib mencobakan alat ajaib itu. Mungkinkah ini balas dendam yang terselubung? :v

  Tidak semua pemula bisa langsung melakukannya secara cepat dan tepat. Seperti saya kecil dulu, satu keping kelapa bisa memakan waktu hitungan jam, lengkap dengan peluhnya. Teledor sedikit saja jari bisa bergerigi meneteskan darah. Namun untungnya tugas penting itu didelegasikan ke saya, setelah santan yang diparut Nenek telah dianggap cukup untuk manggulai, masak gulai. Jadi tugas saya mangukua itu sebenarnya bohongan saja. Alias tipu-tipu agar saya betah dan mau belajar kadapua.

Kelapa-kelapa itu dulu dapat gratis dari halaman belakang rumah. Rumah Nenek ditanami beberapa batang kelapa tinggi. Konon kelapa-kelapa itu sudah ada sejak sebelum saya brojol ke dunia. Begitupun di rumah tetangga. Kampung kami memang terkenal sebagai penghasil kelapa terbanyak se-Minang raya. Piaman laweh. 😉 (*eh, itu dulu, sekarang saya gak tahu juga sih)

Ada yang unik soal per-batang-kelapaan ini. Baruak. Hewan dari keluarga primata ini jadi primadona tiap musim panjat kelapa tiba. Beruk yang terlatih tak butuh waktu lama menjatuhkan butir-butir kelapa, semenjulang apapun pohonnya. Tali panjanglah yang jadi penghubung ia dengan sang tuan pengarahnya. Tukang baruak, orang yang mempekerjakan beruk ini, biasanya suka lewat bersepeda unto (ontel) dengan beruk duduk manis di bangku boncengannya. Saat ada yang memanggil,

  “Baruak….? Baruak…? Baruak….?”

  Maka ia akan berhenti untuk melaksanakan tugasnya memanjat batang kelapa. Bisa dibayangkan, bukan? Betapa sigap baruak memanjat batang kelapa setinggi puluhan meter itu? Begitulah cara kerjanya.
Nah, soal panggilan di atas itu, kabarnya tukang beruk zaman sekarang yang mulai langka, suka tersinggung jika ada yang memanggilnya demikian. Mungkin karena baper, sensi, atau apalah githu. Sebagian dari mereka menolak dirinya disamakan dengan baruak yang diboncengnya itu. Iya juga sih, masak manusia dipanggil baruak. Jelas-jelas baruak itu hewan. Sampai dunia ini kiamat pun tak ada manusia yang rela disamakan dengan baruak. Dan saya rasa begitupun sebaliknya dengan kaum baruak.
Baruak-baruak begini, kami tak rela disamakan dengan manusia! Begitu suara hati mereka (mungkin). *kidding yuaa*
Jadi yang memanggil harus jelas, mau panggil baruaknya, kah, atau manggil tukang baruaknya?
Nah, sepertinya butuh kesepakatan bersama dalam kasus ini. Mesti ada istilah yang jelas. Dilain sisi, sangat disayangkan, keberadaannya makin langka. Profesi mulia ini sepertinya tak diminati lagi oleh kaum penerus. Oh ya, cerita soal panggilan di atas saya dapatkan dari pihak ketiga, semoga tidak ada yang tersinggung dengan tulisan ini, ya. *peaceeee!
Saya punya usul, gimana kalau pihak berwenang menyelenggarakan saja lomba pacu panjek baruak dalam event tertentu? Tentu ini akan menarik perhatian turis domestik atau luar untuk datang menyaksikan teatrikal unik ini. Selain melanggengkan budaya, income daerah pun diharapkan bisa bertambah karenanya. Semoga ada yang menanggapi usulan ini!

  Kembali ke persoalan santan kelapa tadi. Saat asik-asiknya berdiam di pucuk pohon yang menjulang tinggi, sebutir kelapa tiba-tiba dipaksa tercerai dari tampuknya. Sabut-sabut penutupnya dicabut dengan pisau ataupun alat besi dengan kasarnya. Tak sampai di situ. Setelah bersih sari serabut, sebutir kelapa tadi lantas di pukul lagi dengan parang hingga terbelah batok kerasnya. Air beningnya keluar deras. Tentang air kelapa ini, pikiran bodoh saya sempat bertanya-tanya. Kok bisa ada ya air dalam batok kelapa ini? Lewat dari mana? Kan jauh banget dari akarnya? Tentu pertanyaan ini tidak untuk dijawab oleh para ahli botani ataupun biologi.
Lanjut. Setelah batok terbelah, terlihatlah lapisan putih bersih melekat di batok itu. Lantas lapisan putih ini diparut hingga berjatuhan berupa ampas putih. Belum berakhir nasib tragisnya, si ampas ini diperas lagi dalam larutan air. Digencet-gencet sekuat tenaga. Diambil sari patinya, lantas dibuang atau dipelkanlah si ampas kelapa tadi ke lantai. Konon, alat pel alami ini berkasiat membuat lantai jadi mengkilat, kinclong. Setelahnya? Dibuang. Manusia telah mendapatkan sari pati yang dicarinya.
Cerita belum usai. Sari pati, atau santan kelapa tadi harus rela berbagi tempat dalam kuali. Bahkan ia sudi direnangi berbagai bumbu beserta rempah beraroma kuat. Warna putihnya dicemari oleh kuningnya kunyit, merahnya cabe. Setelahnya ia dibakar dengan api panas hingga mendidih. Berteriak-teriak, berbuih-buih di dalam kuali, tak membuat seorang pun bersedia membebaskannya. Setelah puas tersiksa panas, ia berubah kental. Tak tersisa lagi warna putihnya. Dimasakan tertentu ia malah berubah jadi hitam pundam. Atau ketika ia harus dijadikan kolak, ia malah berubah warna kecoklatan. Menahan dingin karena dicelupkan bongkahan es. Menyedihkan. Dipetik dari ketinggian hanya untuk disiksa lantas masuk perut manusia.
Etapi, benarkah seburuk itu nasib si buah kelapa ini? Tidak.
Ia malah sebaliknya. Sebutir buah kelapa telah melalui proses panjang. Tidak mudah baginya untuk terhidang ke meja makan tuan-tuan dan puan-puan manusia terhormat. Begitu kuah santan yang telah menjadi gulai maupun rendang sampai ke mulut tuan puan, tercapailah impian. Mimpi sebutir kelapa yang hendak jadi santapan lezat telah usai tercapai. Sebab tak semua buah kelapa berakhir seindah itu nasibnya. Banyak diantara mereka yang diabaikan, jatuh oleh angin, lantas membusuk di kebun berlumpur, tak menjadi apa-apa. Tak bermanfaat. Tak membawa kasiat.
Alam takambang jadikan guru. Sudahkah kita bisa menjadi sebutir buah kelapa itu?
Sakit, pahit, buram, terjepit serta segala macam kesakitan itu, tak lantas menjadikan kita merasa hina. Kita sengaja diasah agar jadi manusia sempurna. Butir kelapa tak pernah dendam pada parang, pada alat parut, ataupun pada sang baruak. Sebab dengan segala proses panjang itulah sebutir kelapa mencapai ke-sejatian ketinggian posisinya sebagai buah kelapa. Dari tiada menjadi ada, lantas kembali menjadi tiada.

 Nah, sekian. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat. Al fatihah, dong, buat Nenek saya di sana? ^_^

(gambar: google)

Tinggalkan komentar