Anemia ADB pada lintas generasi saat ini menjadi ancaman bagi Indonesia. Sebab, masalah kesehatan satu ini akan berpengaruh besar pada penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa akan datang. Untuk itu, yuk, kenali apa itu anemia ADB (Anemia Defisiensi Besi) dan sepenggal kisah tentang si anemia ini.
Zat Besi (Fe)
Anemia ADB disebabkan oleh kekurangan zat besi. Zat besi adalah komponen penting dari Hb (hemoglobin) yang merupakan substansi dari sel darah merah. Sel darah merah sendiri bertugas sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bayangkan apa yang terjadi jika tubuh kekurangan zat besi.
Anologinya kira-kira begini. Darah merah itu kita ibaratkan truk kontainer penyalur bahan makanan pokok ke rumah-rumah konsumennya. Zat besi itu anggaplah sebagai bensinnya, bahan bakar truk kontainer. Nah, jika truk pembawa bahan makanan tiba-tiba molor, lelet, atau malah nggak datang sama sekali karena kehabisan bensin, apa yang akan terjadi? Pastinya konsumen kelaparan, dong ya.
Nah, begitu juga dengan fungsi zat besi dalam sel darah merah. Jika tubuh kekurangan zat besi, tentunya pendistribusian pasokan oksigen ke sel-sel yang ada di organ dan seluruh tubuh akan terhambat. Akibatnya sel-sel tersebut jadi kelaparan. Lama-lama tugasnya jadi terbengkalai karena kurangnya asupan (oksigen). Fenomena inilah yang terjadi pada mereka yang menderita anemia.
Sepenggal Kisah
Anemia mengingatkan saya pada peristiwa yang menimpa kakak sepupu sekitar dua tahun lalu. Sejak awal kehamilannya ia sudah divonis anemia kronis. Hb-nya selalu di bawah standar angka minimum. Dan semakin memburuk ketika memasuki masa-masa kelahiran.
Pagi itu beliau memeriksakan diri lalu diketahui detak jantung bayi mulai melemah dan ketuban mengering. Padahal belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Dokter memutuskan untuk segera operasi. Segala prosedur pun disiapkan. Namun sayangnya tindakan itu tak bisa dilakukan segera. Hb beliau anjlok ke angka 4 gr/dl. Jauh dari angka normal bagi ibu hamil yang seharusnya di atas angka <11 gr/dl atau kisaran 12-16 gr/dl.
Bukan kabar baik tentunya. Sangat beresiko. Prediksi dokter kala itu antara lain, kakak akan mengalami gagal kontraksi rahim, pendarahan hebat, masuk ICU, dan yang terburuknya, bisa anda tebak sendiri. Anda bisa bayangkan betapa terpukulnya beliau dan keluarga saat itu. Dan kisahnya belumlah berakhir sampai di sini.
Anemia Lintas Generasi
Seperti kita ketahui bersama, masalah gizi tak hanya sebatas masalah kesehatan, tapi juga menyangkut kualitas generasi di masa akan datang. Negara dituntut untuk menyiapkan sumber daya berkualitas yang berdaya saing global. Untuk itu melalui Kementrian Kesehatan pemerintah merumuskan arahan pembangunan kesehatan yang menitikberatkan pada usaha promotive preventive. Intervensi melalui pemenuhan nutrisi dan edukasi menyeluruh diupayakan demi memutus mata rantai anemia baik skala individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.
Dr. dr. Diana Sunardi, M. gizi, Sp. GK selaku Spesialis Gizi Klinis dari Indonesian Nutrition Association (INA) bersama bapak Arif Mujahidin (Corporate Communications Director Danone-Indonesia) dalam webinar di kanal youtube Nutrisi Bangsa bertema “Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi” memaparkan, bahwa anemia adalah rendahnya kadar Hb dibandingkan kadar normal yang menunjukkan jumlah sel darah merah yang bersirkulasi.
Dalam rangka perayaan Hari Gizi Nasional ini dr. Diana juga menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih harus berhadapan dengan tiga masalah gizi (triple burden of malnutrition). Yakni, masalah stunting (gizi kurang), wasting (gizi lebih), serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia karena kurang zat besi.
Kasus stunting akibat kurang gizi masih menjadi PR besar di Indoensia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di Indonesia mencapai 30,81%. Turun dari angka sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 37%. Walau begitu angka ini masih jauh dari standar stunting yang ditoleransi oleh WHO yang hanya 20% saja.
Untuk kasus anemia, hal ini bisa terjadi pada lintas usia. Pada usia anak-anak atau balita, pada perempuan baik remaja putri, ibu hamil, dan ibu menyusui. Menurut data Riskesdas 2018, 48,9% ibu hamil, 32% remaja putri (usia 15-24), 38,5% balita mengalami anemia. Sekitar 50-60% angka anemia ini disebabkan oleh defisiensi zat besi atau Anemia Defisiensi Besi (ADB).
Sepenggal Kisah
Dari persentase ibu hamil di atas, kakak saya termasuk salah satunya. Kala itu kakak saya harus segera dioperasi. Dan untuk tindakan cecar ini ia butuh darah sekian kantong. Masalahnya semakin rumit saja ketika hasil labor menyatakan kakak bergolongan darah A dengan rhesus negatif.
Ya, seperti yang anda ketahui, jumlah populasi manusia yang berhesus negatif hanya ada sekitar 15% saja di muka bumi ini. Terbayang, kan, betapa rumitnya? Dari tiga puluh orang yang datang mendonor malam itu hanya dapat satu kantong darah saja. Oh ya, sebelum cerita ini berlanjut, sebaiknya kita ketahui dulu apa saja gejala serta dampak anemia.
Gejala Anemia dan Dampaknya
Siklus anemia berawal dari status kurang gizi pada remaja putri yang kemudian hamil dalam kondisi gizi kurang baik, lalu melahirkan bayi yang beresiko stunting. Untuk itu perlu dilakukan intervensi pada remaja putri melalui pemenuhan kebutuhan gizi dan edukasi secara menyeluruh.
Gejala anemia secara umum bisa diketahui dengan adanya gejala-gejala seperti, kelopak mata pucat, kulit pucat, sering sakit kepala atau pusing, tekanan darah rendah, terjadi kelemahan pada otot, sering lelah, lemas, bahkan pingsan.
Anemia yang bergejala khusus, seperti:
- Jika anemia sudah tingkat berat, denyut nadi cepat dan napas juga cepat.
- Pada kondisi kronis akan terjadi pembesaran linfa.
- Pada ibu hamil, gejalanya berupa wajah pucat, kurang napsu makan, pusing, mudah lelah.
- Pada anak-anak, gejalanya, rewel, lemas, pusing, tidak nafsu makan, gangguan konsentrasi, ngantukan, tidak aktif bergerak, dan lain sebagainya.
Sepenggal Kisah
Beberapa gejala di atas juga dialami kakak saya. Dokter klinik yang menanganinya angkat tangan lalu merujuk kakak ke RS kabupaten. Karena satu dan lain hal, pihak RS pun memutuskan untuk merujuk kakak ke RS ibukota provinsi yang jauh lebih lengkap fasilitasnya. Sementara itu air ketuban semakin kering saja. Kekuatiran makin bertambah sekian kali lipat. Waktu seakan melambat.
Sesampai di RS yang baru pun kakak masih harus menunggu. Hb-nya masih jauh dari standar aman untuk operasi cecar. Kakak butuh transfusi darah sekitar sembilan kantong. Sementara stok darah baik dari PMI mau pun dari RS sangat sedikit. Meski beritanya tersebar dan viral hingga ke negara sebelah, tetap saja sulit menemukan pendonor yang cocok.
Sembari menunggu stok darah terkumpul beliau terus mengasup nutrisi. Entah dari sayur, telur, daging, jus tomat, jus bit, buah-buahan, suplemen penambah darah dan segala macam asupan lainnya. Namun Hb-nya tak juga menunjukkan kenaikan signifikan.
Dari kasus ini kita bisa ambil pelajaran. Bahwa masalah anemia bukanlah perkara main-main. Besar sekali dampaknya. Lalu, sebenarnya apa saja sih, faktor penyebab anemia ini. Yuk, simak uraian dari dr. Diana berikut ini.
Faktor Penyebab Anemia
Untuk jangka panjang anemia akan berdampak pada kesehatan. Seperti, menurunnya daya tahan tubuh, infeksi meningkat, kebugaran menurun, konsentrasi berkurang yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya prestasi dan kinerja. Untuk itu pemerintah mengupayakan pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan untuk lintas usia ini agar mata rantai masalah gizi dapat terselesaikan.
Pada webinar ini dr. Diana juga menjelaskan bahwa kebutuhan akan zat besi, baik pada anak-anak, remaja putri, atau ibu hamil, sebenarnya tidaklah terlalu besar. Namun ada tantangan yang membuat kebutuhan ini sulit dicapai.
Penyebab anemia kurang zat besi ada tiga faktornya, yaitu:
- Asupan makanan
- Sakit (infeksi atau adanya penyakit kronis)
- Penyebab lainnya.
Untuk masalah asupan. Berdasarkan hasil riset, masalah pada asupan makanan di Indonesia ternyata ada pada konsumsi asupan pangan yang masih didominasi oleh pangan nabati. Asupan energi dan proteinnya pun rendah. Sehingga terjadilah defisit energi, protein, dan mikronutrien.
Sedangkan untuk faktor-faktor asupan pada anemia kurang zat besi dipengaruhi oleh hal berikut ini:
- Asupan zat besi yang rendah
- Asupan vitamin C yang rendah
- Konsumsi sumber fitat yang berlebihan
- Konsumsi sumber tanin (kopi, teh) yang berlebihan
- Menjalankan diet yang tidak seimbang.
Dan untuk penyebab anemia kurang zat besi pada anak disebabkan oleh hal berikut ini, seperti:
- Pemilih makanan (picky eater)
- Asupan makanan yang tidak bervariasi
- Kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan penyerapan
- Kondisi tertentu yang menyebabkan asupan zat besi rendah (alergi bahan makanan sumber besi heme)
Dr. Diana menyebutkan, penyerapan zat besi akan dipermudah oleh vitamin C, asam sitrat dan komponen-komponen makanan lainnya. Dan penyerapan zat besi akan terhambat oleh adanya fitat, tanin (pada teh, kopi), dan lainnya. Untuk itu sebaiknya tidak terlalu banyak mengosumsi teh atau kopi bagi yang rentan.
Akhir Kisah
Setelah delapan hari menunggu, kabar baik itu akhirnya datang juga. Tuhan mengutus orang-orang baik untuk mendonorkan darah langkanya dari tempat-tempat jauh. Singkat cerita, stok darah yang dibutuhkan akhirnya tercukupi. Hb kakak saya pun mulai naik. Meski air ketuban yang tersisa tingga 0, sekian persen saja.
Jujur saja harapan saya saat itu hanya satu, si ibu bisa selamat. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Mereka berdua berhasil melewati masa-masa sulit itu. Si ibu dan bayi mungilnya selamat. Lahir tampa cacat apa pun dan sehat sampai sekarang. Saya bilang ini keajaiban, pengecualian. Soalnya nggak sedikit yang memprediksi salah satunya tak akan berhasil melewatinya.
Saya yakin tak ada seorang pun yang ingin mengalami anemia ini. Untuk itu penting sekali mengetahui seluk beluk anemia dan upaya-upaya mengatasinya. Termasuk mengetahui apa saja yang bisa jadi sumber zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh kita. Seperti yang diuraikan oleh dr. Diana berikut ini.
Sumber Zat Besi
Zat besi bisa didapatkan dari sumber makanan hewani dan nabati. Untuk sumber makanan hewani zat besi bisa diperoleh dari hati sapi, domba, hati ayam, tuna, salmon, dan lainnya. Untuk anak-anak, dr. Diana bilang bahwa porsi satu hati ayam saja sudah cukup memenuhi kebutuhan zat besinya.
Sedangkan untuk zat besi yang bersumber dari makanan nabati bisa didapatkan dari sayuran hijau dan lainnya. Dan untuk mengoptimalkan penyerapannya, sebaiknya dikonsumsi dengan sumber makanan yang mengandung vitamin C serta jauhi faktor penghambat penyerapan seperti tanin pada teh dan kopi. Sumber vitamin C dapat ditemukan pada buah jambu biji, mangga, naga, mangga, tomat, jeruk, dan lainnya.
Sebagai kesimpulan, dr. Diana menyarankan agar memastikan asupan bergizi seimbang sesuai tumpeng pedoman gizi dan slogan Isi Piringku. Pastikan pengonsumsian sumber zat besi bersamaan dengan sumber makanan yang memudahkan penyerapan zat besi. Porsitifikasi makanan bisa jadi solusi kurangnya asupan zat besi, baik dari tepung terigu/beras, biskuit, susu pertumbuhan. Dan patuhi komsumsi tablet tambah darah bila mendapatkannya.
Danone Indonesia
Danone yang mengawali sejarah sejak tahun 1954 di Indonesia berkomitmen mewujudkan misi “one planet one healt”. Bahwa kesehatan planet berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Danone Indonesia dalam webinar ini diwakili oleh Corporate Communication Director Indonesia, bapak Arif Mujahidin. Selain bekerja sama dengan Indonesian Nutrition Association (INA), beliau menyatakan bahwa Danone juga menggagas beberapa program di bidang kesehatan seperti pencegahan stunting dalam program Bersama Cegah Stunting, Gerakan Ayo Minum Air (AMIR), Kampanye Isi Piringku, dan program Warung Anak Sehat yang mengedukasi pengelola kantin sekolah agar menyediakan pangan sehat bagi siswa selama mereka berada di sekolah.
Selain itu Danone juga menjalin kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor dengan meluncurkan buku panduan Generasi Sehat Indonesia (GESID) yang menyasar golongan remaja. Ada tiga modul untuk remaja SMP dan SMA. Yakni, Aku Peduli, Aku Sehat, dan Aku Bertanggung Jawab yang mengupas tentang kesehatan reproduksi, peran gizi bagi kesehatan dan kualitas hidup, anemia bagi remaja putri dan perempuan usia subur, pencegahan pernikahan dini serta remaja berkarakter. Program ini sudah melaksanakan pilot project dengan 20 guru pendamping dan 60 orang siswa SMP dan SMA sebagai Duta GESID 2020.
Selain itu, Danone Indonesia selama bertahun-tahun telah mendukung 4 fasilitas pendidikan yang berfokus pada kesehatan dan gizi di Taman Pintar, Yogyakarta, yang selama satu tahun sudah dikunjungi oleh satu juta pengunjung.
Dengan program Duta 1000 Pelangi, Danone Indonesia melatih dan menjadikan karyawan sebagai duta kesehatan dalam rangka memberikan pelayanan pada masyarakat tentang masalah gizi dan kesehatan dalam 1000 hari pertama kehidupan di sekitar tempat tinggal mereka. Untuk seterusnya, Danone Indonesia berkomitmen membawa kebaikan kepada sebanyak mungkin orang melalui makanan dan minuman.
Sekian dulu uraian singkat ini. Semoga dapat menambah semangat kita untuk memutus mata rantai anemia defisiensi zat besi di Indonesia. Demi masa depan generasi bangsa yang lebih baik dan maju. Salam sehat!
#AnemiaDefisiensiZatBesi #ZatBesi #PenyerapanZatBesi #VitaminC #SusuPertumbuhan #DanoneIndonesia