Sepenggal Kisah dan Usaha Memutus Mata Rantai Anemia Lintas Generasi

Anemia ADB pada lintas generasi saat ini menjadi ancaman bagi Indonesia. Sebab, masalah kesehatan satu ini akan berpengaruh besar pada penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa akan datang. Untuk itu, yuk, kenali apa itu anemia ADB (Anemia Defisiensi Besi) dan sepenggal kisah tentang si anemia ini.

Zat Besi (Fe)
Anemia ADB disebabkan oleh kekurangan zat besi. Zat besi adalah komponen penting dari Hb (hemoglobin) yang merupakan substansi dari sel darah merah. Sel darah merah sendiri bertugas sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bayangkan apa yang terjadi jika tubuh kekurangan zat besi.


Anologinya kira-kira begini. Darah merah itu kita ibaratkan truk kontainer penyalur bahan makanan pokok ke rumah-rumah konsumennya. Zat besi itu anggaplah sebagai bensinnya, bahan bakar truk kontainer. Nah, jika truk pembawa bahan makanan tiba-tiba molor, lelet, atau malah nggak datang sama sekali karena kehabisan bensin, apa yang akan terjadi? Pastinya konsumen kelaparan, dong ya.


Nah, begitu juga dengan fungsi zat besi dalam sel darah merah. Jika tubuh kekurangan zat besi, tentunya pendistribusian pasokan oksigen ke sel-sel yang ada di organ dan seluruh tubuh akan terhambat. Akibatnya sel-sel tersebut jadi kelaparan. Lama-lama tugasnya jadi terbengkalai karena kurangnya asupan (oksigen). Fenomena inilah yang terjadi pada mereka yang menderita anemia.

Sepenggal Kisah
Anemia mengingatkan saya pada peristiwa yang menimpa kakak sepupu sekitar dua tahun lalu. Sejak awal kehamilannya ia sudah divonis anemia kronis. Hb-nya selalu di bawah standar angka minimum. Dan semakin memburuk ketika memasuki masa-masa kelahiran.


Pagi itu beliau memeriksakan diri lalu diketahui detak jantung bayi mulai melemah dan ketuban mengering. Padahal belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Dokter memutuskan untuk segera operasi. Segala prosedur pun disiapkan. Namun sayangnya tindakan itu tak bisa dilakukan segera. Hb beliau anjlok ke angka 4 gr/dl. Jauh dari angka normal bagi ibu hamil yang seharusnya di atas angka <11 gr/dl atau kisaran 12-16 gr/dl.


Bukan kabar baik tentunya. Sangat beresiko. Prediksi dokter kala itu antara lain, kakak akan mengalami gagal kontraksi rahim, pendarahan hebat, masuk ICU, dan yang terburuknya, bisa anda tebak sendiri. Anda bisa bayangkan betapa terpukulnya beliau dan keluarga saat itu. Dan kisahnya belumlah berakhir sampai di sini.

Anemia Lintas Generasi
Seperti kita ketahui bersama, masalah gizi tak hanya sebatas masalah kesehatan, tapi juga menyangkut kualitas generasi di masa akan datang. Negara dituntut untuk menyiapkan sumber daya berkualitas yang berdaya saing global. Untuk itu melalui Kementrian Kesehatan pemerintah merumuskan arahan pembangunan kesehatan yang menitikberatkan pada usaha promotive preventive. Intervensi melalui pemenuhan nutrisi dan edukasi menyeluruh diupayakan demi memutus mata rantai anemia baik skala individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.

Dr. dr. Diana Sunardi, M. gizi, Sp. GK selaku Spesialis Gizi Klinis dari Indonesian Nutrition Association (INA) bersama bapak Arif Mujahidin (Corporate Communications Director Danone-Indonesia) dalam webinar di kanal youtube Nutrisi Bangsa bertema “Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi” memaparkan, bahwa anemia adalah rendahnya kadar Hb dibandingkan kadar normal yang menunjukkan jumlah sel darah merah yang bersirkulasi.

Dalam rangka perayaan Hari Gizi Nasional ini dr. Diana juga menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih harus berhadapan dengan tiga masalah gizi (triple burden of malnutrition). Yakni, masalah stunting (gizi kurang), wasting (gizi lebih), serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia karena kurang zat besi.


Kasus stunting akibat kurang gizi masih menjadi PR besar di Indoensia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di Indonesia mencapai 30,81%. Turun dari angka sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 37%. Walau begitu angka ini masih jauh dari standar stunting yang ditoleransi oleh WHO yang hanya 20% saja.


Untuk kasus anemia, hal ini bisa terjadi pada lintas usia. Pada usia anak-anak atau balita, pada perempuan baik remaja putri, ibu hamil, dan ibu menyusui. Menurut data Riskesdas 2018, 48,9% ibu hamil, 32% remaja putri (usia 15-24), 38,5% balita mengalami anemia. Sekitar 50-60% angka anemia ini disebabkan oleh defisiensi zat besi atau Anemia Defisiensi Besi (ADB).

Sepenggal Kisah
Dari persentase ibu hamil di atas, kakak saya termasuk salah satunya. Kala itu kakak saya harus segera dioperasi. Dan untuk tindakan cecar ini ia butuh darah sekian kantong. Masalahnya semakin rumit saja ketika hasil labor menyatakan kakak bergolongan darah A dengan rhesus negatif.

Ya, seperti yang anda ketahui, jumlah populasi manusia yang berhesus negatif hanya ada sekitar 15% saja di muka bumi ini. Terbayang, kan, betapa rumitnya? Dari tiga puluh orang yang datang mendonor malam itu hanya dapat satu kantong darah saja. Oh ya, sebelum cerita ini berlanjut, sebaiknya kita ketahui dulu apa saja gejala serta dampak anemia.

Gejala Anemia dan Dampaknya
Siklus anemia berawal dari status kurang gizi pada remaja putri yang kemudian hamil dalam kondisi gizi kurang baik, lalu melahirkan bayi yang beresiko stunting. Untuk itu perlu dilakukan intervensi pada remaja putri melalui pemenuhan kebutuhan gizi dan edukasi secara menyeluruh.


Gejala anemia secara umum bisa diketahui dengan adanya gejala-gejala seperti, kelopak mata pucat, kulit pucat, sering sakit kepala atau pusing, tekanan darah rendah, terjadi kelemahan pada otot, sering lelah, lemas, bahkan pingsan.
Anemia yang bergejala khusus, seperti:

  • Jika anemia sudah tingkat berat, denyut nadi cepat dan napas juga cepat.
  • Pada kondisi kronis akan terjadi pembesaran linfa.
  • Pada ibu hamil, gejalanya berupa wajah pucat, kurang napsu makan, pusing, mudah lelah.
  • Pada anak-anak, gejalanya, rewel, lemas, pusing, tidak nafsu makan, gangguan konsentrasi, ngantukan, tidak aktif bergerak, dan lain sebagainya.

Sepenggal Kisah
Beberapa gejala di atas juga dialami kakak saya. Dokter klinik yang menanganinya angkat tangan lalu merujuk kakak ke RS kabupaten. Karena satu dan lain hal, pihak RS pun memutuskan untuk merujuk kakak ke RS ibukota provinsi yang jauh lebih lengkap fasilitasnya. Sementara itu air ketuban semakin kering saja. Kekuatiran makin bertambah sekian kali lipat. Waktu seakan melambat.


Sesampai di RS yang baru pun kakak masih harus menunggu. Hb-nya masih jauh dari standar aman untuk operasi cecar. Kakak butuh transfusi darah sekitar sembilan kantong. Sementara stok darah baik dari PMI mau pun dari RS sangat sedikit. Meski beritanya tersebar dan viral hingga ke negara sebelah, tetap saja sulit menemukan pendonor yang cocok.


Sembari menunggu stok darah terkumpul beliau terus mengasup nutrisi. Entah dari sayur, telur, daging, jus tomat, jus bit, buah-buahan, suplemen penambah darah dan segala macam asupan lainnya. Namun Hb-nya tak juga menunjukkan kenaikan signifikan.


Dari kasus ini kita bisa ambil pelajaran. Bahwa masalah anemia bukanlah perkara main-main. Besar sekali dampaknya. Lalu, sebenarnya apa saja sih, faktor penyebab anemia ini. Yuk, simak uraian dari dr. Diana berikut ini.

Faktor Penyebab Anemia
Untuk jangka panjang anemia akan berdampak pada kesehatan. Seperti, menurunnya daya tahan tubuh, infeksi meningkat, kebugaran menurun, konsentrasi berkurang yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya prestasi dan kinerja. Untuk itu pemerintah mengupayakan pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan untuk lintas usia ini agar mata rantai masalah gizi dapat terselesaikan.


Pada webinar ini dr. Diana juga menjelaskan bahwa kebutuhan akan zat besi, baik pada anak-anak, remaja putri, atau ibu hamil, sebenarnya tidaklah terlalu besar. Namun ada tantangan yang membuat kebutuhan ini sulit dicapai.
Penyebab anemia kurang zat besi ada tiga faktornya, yaitu:

  • Asupan makanan
  • Sakit (infeksi atau adanya penyakit kronis)
  • Penyebab lainnya.

Untuk masalah asupan. Berdasarkan hasil riset, masalah pada asupan makanan di Indonesia ternyata ada pada konsumsi asupan pangan yang masih didominasi oleh pangan nabati. Asupan energi dan proteinnya pun rendah. Sehingga terjadilah defisit energi, protein, dan mikronutrien.
Sedangkan untuk faktor-faktor asupan pada anemia kurang zat besi dipengaruhi oleh hal berikut ini:

  1. Asupan zat besi yang rendah
  2. Asupan vitamin C yang rendah
  3. Konsumsi sumber fitat yang berlebihan
  4. Konsumsi sumber tanin (kopi, teh) yang berlebihan
  5. Menjalankan diet yang tidak seimbang.
    Dan untuk penyebab anemia kurang zat besi pada anak disebabkan oleh hal berikut ini, seperti:
  • Pemilih makanan (picky eater)
  • Asupan makanan yang tidak bervariasi
  • Kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan penyerapan
  • Kondisi tertentu yang menyebabkan asupan zat besi rendah (alergi bahan makanan sumber besi heme)
    Dr. Diana menyebutkan, penyerapan zat besi akan dipermudah oleh vitamin C, asam sitrat dan komponen-komponen makanan lainnya. Dan penyerapan zat besi akan terhambat oleh adanya fitat, tanin (pada teh, kopi), dan lainnya. Untuk itu sebaiknya tidak terlalu banyak mengosumsi teh atau kopi bagi yang rentan.

Akhir Kisah
Setelah delapan hari menunggu, kabar baik itu akhirnya datang juga. Tuhan mengutus orang-orang baik untuk mendonorkan darah langkanya dari tempat-tempat jauh. Singkat cerita, stok darah yang dibutuhkan akhirnya tercukupi. Hb kakak saya pun mulai naik. Meski air ketuban yang tersisa tingga 0, sekian persen saja.

Jujur saja harapan saya saat itu hanya satu, si ibu bisa selamat. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Mereka berdua berhasil melewati masa-masa sulit itu. Si ibu dan bayi mungilnya selamat. Lahir tampa cacat apa pun dan sehat sampai sekarang. Saya bilang ini keajaiban, pengecualian. Soalnya nggak sedikit yang memprediksi salah satunya tak akan berhasil melewatinya.


Saya yakin tak ada seorang pun yang ingin mengalami anemia ini. Untuk itu penting sekali mengetahui seluk beluk anemia dan upaya-upaya mengatasinya. Termasuk mengetahui apa saja yang bisa jadi sumber zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh kita. Seperti yang diuraikan oleh dr. Diana berikut ini.

Sumber Zat Besi
Zat besi bisa didapatkan dari sumber makanan hewani dan nabati. Untuk sumber makanan hewani zat besi bisa diperoleh dari hati sapi, domba, hati ayam, tuna, salmon, dan lainnya. Untuk anak-anak, dr. Diana bilang bahwa porsi satu hati ayam saja sudah cukup memenuhi kebutuhan zat besinya.

Sedangkan untuk zat besi yang bersumber dari makanan nabati bisa didapatkan dari sayuran hijau dan lainnya. Dan untuk mengoptimalkan penyerapannya, sebaiknya dikonsumsi dengan sumber makanan yang mengandung vitamin C serta jauhi faktor penghambat penyerapan seperti tanin pada teh dan kopi. Sumber vitamin C dapat ditemukan pada buah jambu biji, mangga, naga, mangga, tomat, jeruk, dan lainnya.


Sebagai kesimpulan, dr. Diana menyarankan agar memastikan asupan bergizi seimbang sesuai tumpeng pedoman gizi dan slogan Isi Piringku. Pastikan pengonsumsian sumber zat besi bersamaan dengan sumber makanan yang memudahkan penyerapan zat besi. Porsitifikasi makanan bisa jadi solusi kurangnya asupan zat besi, baik dari tepung terigu/beras, biskuit, susu pertumbuhan. Dan patuhi komsumsi tablet tambah darah bila mendapatkannya.

Danone Indonesia
Danone yang mengawali sejarah sejak tahun 1954 di Indonesia berkomitmen mewujudkan misi “one planet one healt”. Bahwa kesehatan planet berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Danone Indonesia dalam webinar ini diwakili oleh Corporate Communication Director Indonesia, bapak Arif Mujahidin. Selain bekerja sama dengan Indonesian Nutrition Association (INA), beliau menyatakan bahwa Danone juga menggagas beberapa program di bidang kesehatan seperti pencegahan stunting dalam program Bersama Cegah Stunting, Gerakan Ayo Minum Air (AMIR), Kampanye Isi Piringku, dan program Warung Anak Sehat yang mengedukasi pengelola kantin sekolah agar menyediakan pangan sehat bagi siswa selama mereka berada di sekolah.


Selain itu Danone juga menjalin kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor dengan meluncurkan buku panduan Generasi Sehat Indonesia (GESID) yang menyasar golongan remaja. Ada tiga modul untuk remaja SMP dan SMA. Yakni, Aku Peduli, Aku Sehat, dan Aku Bertanggung Jawab yang mengupas tentang kesehatan reproduksi, peran gizi bagi kesehatan dan kualitas hidup, anemia bagi remaja putri dan perempuan usia subur, pencegahan pernikahan dini serta remaja berkarakter. Program ini sudah melaksanakan pilot project dengan 20 guru pendamping dan 60 orang siswa SMP dan SMA sebagai Duta GESID 2020.

Selain itu, Danone Indonesia selama bertahun-tahun telah mendukung 4 fasilitas pendidikan yang berfokus pada kesehatan dan gizi di Taman Pintar, Yogyakarta, yang selama satu tahun sudah dikunjungi oleh satu juta pengunjung.


Dengan program Duta 1000 Pelangi, Danone Indonesia melatih dan menjadikan karyawan sebagai duta kesehatan dalam rangka memberikan pelayanan pada masyarakat tentang masalah gizi dan kesehatan dalam 1000 hari pertama kehidupan di sekitar tempat tinggal mereka. Untuk seterusnya, Danone Indonesia berkomitmen membawa kebaikan kepada sebanyak mungkin orang melalui makanan dan minuman.


Sekian dulu uraian singkat ini. Semoga dapat menambah semangat kita untuk memutus mata rantai anemia defisiensi zat besi di Indonesia. Demi masa depan generasi bangsa yang lebih baik dan maju. Salam sehat!

#AnemiaDefisiensiZatBesi #ZatBesi #PenyerapanZatBesi #VitaminC #SusuPertumbuhan #DanoneIndonesia

Tegak dengan Sebelah Kaki

Pandemi covid19 membuat dunia melambat dan merepotkan umat. Banyak hal sudah diupayakan. Melelahkan. Efeknya ke mana mana. Hal ini mendatangkan pertanyaan besar di benak. Sudahkah tepat sudut pandang kita akan isu ini? Sebelumnya, mohon sediakan ruang netral dalam diri anda. Setidaknya, tetaplah bertahan hingga akhir tulisan ini. Saya tahu ini bukan sesuatu yang mudah diterima begitu saja. Baiklah. Yuk, mari.


Usaha menangani penyakit selama ini mirip dengan anologi berikut. Seorang anak kecil tersandung mainannya. Ia meraung-raung kesakitan. Si anak menyalahkan mainannya. Bahkan memukul dan melemparnya keluar karena dianggap bersalah. Si biang kerok pun hilang dari pandangannya. Di satu sisi mainan memang membuatnya kesakitan. Tapi apakah itu murni kesalahan mainan?


Lalu bagaimana dengan fenomena umum berikut ini. Si A yang hobi bergadang terserang flu berat. Ia bersin-bersin ke arah si B yang seruangan. Si A mengutuk virus yang membuatnya sakit. Si A pun melakukan upaya membunuh virus dengan menelan obat sintetis. Gejala penyakitnya pun berhenti. Sama seperti si anak yang melempar mainannya keluar tadi. Kira-kira, adakah jaminan mereka terbebas dari masalah yang sama di kemudian hari?


Si B yang baik-baik saja itu, apa yang membuatnya tak ikut sakit? Semua orang akan serentak menjawab, itu karena imunitas si B kuat. Lalu apa sih yang menyebabkan imunitas seseorang kuat dan yang lainnya lemah?

Dua Mahzab
Jika melihat ke mahzab yang jadi landasan berpikir dan bertindak di dunia kesehatan selama ini, akan nampaklah benang merahnya. Serta pola yang melandasi tindakan si anak kecil dan si A yang membasmi virus flunya.


Selama di bangku sekolah kita memang hanya diajari satu mahzab saja, yakni yang dipelopori oleh Louise Pasteur. Padahal pada abad dua puluh itu dunia biologi khususnya mikrobiolgi terbelah ke dalam dua pandangan. Yakni mahzab Monomorphism dan mahzab Pleomorphism. Hal ini serupa berjalan dengan satu kaki, pincang, dan berat sebelah.


Mahzab yang dipelopori Louis Pasteur dikenal dengan istilah Monomorphism (Mono: satu, morpe: bentuk) yang kemudian jadi landasan teori kuman /germ theory. Mahzab ini berpandangan bahwa setiap sel bakteri berasal dari sel yang ada sebelumnya dalam bentuk dan ukuran yang sama, alias tidak mungkin berubah bentuk.


Sedangkan Pleomorphism (pleo: banyak, morpe: bentuk) dipelopori oleh ilmuan Antoine Bechamp yang hidup sezaman dengan Pasteur bahkan mereka mengajar di kampus yang sama. Mahzab ini berpandangan bahwa sel bakteri punya kemampuan merubah bentuk maupun ukurannya sebagai respon atas kondisi lingkungannya. Yang kemudian menjadi landasan dari teori medan/ terrain theory.


Teori kuman/germ theory berpandangan bahwa orang jatuh sakit disebabkan oleh kuman. Maka cara satu-satunya agar sembuh dan terhindar dari penyakit ialah dengan memberantas kuman. Teori temuan Pasteur inilah yang jadi landasan pemikiran medis konvensional. Dimana kuman, entah bakteri, virus, jamur, dianggap sebagai penyebab penyakit. Dan sejak saat itulah manusia mulai berperang melawan microba dengan berbagai cara. Ini tergambar dari tindakan si A dan si anak kecil di atas.


Namun sama-sama kita ketahui, ada milyaran jenis bakteri di alam raya ini. Belum lagi ditambah jenis virus, jamur, dan lainnya. Bahkan semasa dalam kandungan pun manusia sudah bergelimang dengan bakteri dalam tubuh ibu, di jalan lahir. Lalu, apakah harus diberantas semua agar kita terlindungi dari penyakit? Bagaimana kalau mereka malah makin resisten? Tak perlu buru-buru dijawab.


Di sisi lain teori medan/terrain theory berpandangan bahwa orang jatuh sakit bukan karena kuman. Melainkan karena kerusakan jaringan atau sel tubuh yang akhirnya mengganggu sistim kekebalan tubuh. Atau singkatnya, terjadinya ketidak-seimbangan pada tubuh. Menurut teori ini cara mengatasi penyakit ialah dengan memperbaiki jaringan yang rusak dengan cara meningkatkan kualitas kesehatan.


Pandangan Pleomorphism memaparkan bahwa terdapat microzyma (semua sel berasal dari microzyma pada awal terbentuknya) dan bisa ditemukan pada seluruh makluk hidup. Dalam keadaan normal/sehat ia akan tetap diam dalam bentuknya semula. Namun ketika tubuh terancam oleh racun atau terjadi kerusakan sel, microzyma akan berubah bentuk jadi bakteri, jamur, atau virus lantas “melibas” racun tersebut. Setelah tugasnya selesai, ia akan kembali jadi bentuk semula, microzyma. Kemampuan mikroba ini berevosi tergantung pada lingkungannya (medan/terrainnya). Dan lingkungan/terrain yang baik didapatkan dengan cara menerapkan pola hidup sehat.

Keseimbangan Sebagai Kunci
Jika teori medan/terrain theory ini ikut disandingkan dengan teori kumannya Pasteur sejak awal dulu, tentu dunia kesehatan akan kaya perspektif. Namun sayangnya ia seolah layu sebelum berkembang. Buku-buku bermahzab pleomorphisme malah sempat dilarang beredar. Jika anda mau meluangkan waktu mencari tahu, anda pasti akan menemukan jawabannya. Meski begitu, penganut teori medan/terrain theory nyatanya tak pernah sepi peminat. Ia tetap hidup hingga kini.


Sedikit mengulik sejarah, sebelum mengenal medis konvensional, sejak ribuan tahun lalu manusia sudah mengenal metode pengobatan berbasis holistik. Dimana pengobatan berfokus pada penyeimbangan aspek mental, fisik, dan spritual untuk selaras dengan alam. Seperti pandangan Socrates yang memandang tubuh sebagai keseluruhan, bukannya bagian yang terpisah.


Ada banyak jenis pengobatan di luar medis konvensional. Ada aliran holistik tradisional/kuno dan aliran holistik moderen yang menggabungkan pengobatan hoslitik tradisional dengan sains. Sebut saja naturopathy, homeopathy, ananopathy, thibunnabawi, dan sebagainya.


Jauh sejak ribuan tahun lalu pengobatan Cina klasik juga mengusung falsafah yang sama. Dimana penyakit disebabkan oleh ketidak-harmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh manusia. Yang kita kenal dengan istilah yin-yang, sistim meridian tubuh, lima unsur, dan lainnya.


Aliran-aliran holistik ini secara garis besar memiliki kesamaan konsep dalam pengobatannya. Seperti, perawatannya bersifat menyeluruh, optimalisasi kemampuan tubuh menyembuhkan diri, fokus ke akar penyebab penyakit, bukan merawat gejala, meminimalkan obat sintetis dan prosedur invasif, dan lain sebagainya. Dalam aliran holistik ini aspek psikis, spiritual, fisik sama-sama mendapat porsi besar dalam usaha mencapai kesembuhan atau pun upaya menjaga kesehatan.


Hal ini selaras dengan pandangan Hippocrates, Bapak Kedokteran, bahwa penyakit disebabkan oleh ketidak seimbangan dalam faktor alam pada tubuh, seperti air, udara, dan makanan. Hippocrates sendiri pernah menggunakan aroma terapi dan menyemprot wewangian untuk membebaskan kota Athena dari serangan wabah penyakit. Seperti kita ketahui, aromaterapi bisa merileksasi dan menyembuhkan. Dan teknik ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Lantas bagaimana orang di abad sekarang memandang metode tersebut?


Bukti ilmiah adalah keniscayaan pada abad ini. Diluar itu akan dianggap pseudo belaka meski terlihat jelas hasil nyatanya. Salah satu contohnya, pernyataan Nabi Muhammad SAW (dalam Thibbunnabawi) yang diragukan banyak orang. Bahwa mayoritas penyakit bersumber dari perut. Seorang ilmuan dan praktisi medis yang mempelopori teknik kolonoskopi moderen kemudian mengemukakan kesimpulan serupa. Dr. Hiromi Shinya menyimpulkan bahwa usus yang sehat adalah syarat untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang prima. Jaga yang masuk ke perut, maka kesehatan akan terjaga. Dan ada banyak lag contoh lainnya.


Mengenai pola hidup sehat, Indonesia sendiri sudah mengkampanyekan lewat slogan “Gizi Seimbang.” Namun anehnya malah terdengar redup saja di masa pandemi ini. Kalau pun ada, terkesan sebagai usaha sampingan saja. Padahal kita tahu, tak ada formula tunggal yang bisa menangkal covid19 selain melawannya dengan menaikkan imunitas. Dengan cara menerapkan Gizi Seimbang, menjauhi stres, hidup dalam masyarakat yang baik, berolah raga, dan lain sebagainya.


Dalam hal merespon pandemi ini, ada empat tipe kelompok orang. Mereka yang tak percaya dan tak mau peduli, mereka yang terjerat dalam ketakutan dan kecemasan berlebihan, mereka selalu meragu, dan mereka yang memilih untuk bijak dengan meningkatkan pengetahuan kesehatan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang manakah, anda?


Bagi yang bersepakat bahwa manusia adalah bagian dari alam, dan alam memang butuh keseimbangan, tentu tak berat menerima sudut pandang baru yang sebenarnya tidaklah baru-baru amat ini. Namun bagi yang menolak, tentulah tulisan ini tak ubahnya bak menantang matahari belaka. Padahal untuk seterusnya kita akan hidup berdampingan dengan microba yang semakin bertambah banyak jenisnya itu. Andai sebelah kaki itu difungsikan, tentu tak akan lagi pincang kita berjalan. Ada banyak ragam perspektif. Dan dampak pandemi tak harus membuat dunia lumpuh seperti sekarang. Melelahkan. Terima kasih sudah bertahan. Kamu keren!