= Malin Kondang (bukan Kundang) Si Saudagar Skincare =

Setelah sukses jadi pengusaha skincare di rantau, Malin Kondang taragak pulang kampuang. Ia bawa berlayarlah istri beserta anak buahnya dengan kapal pesiar. Juga tak lupa bawa berpeti-peti oleh-oleh.

Kapal besar Malin Kondang akhirnya bersandar di tepian Ranah Minang. Ia menatap lekat ke daratan. Ke air laut yang masih biru kehijauan, ke jejeran pohon kelapa yang memagari tanah tepian. Kembang kempis dadanya menghirup udara kampung halaman.

Kabar kepulangan saudagar besar itu rupanya tersiar hingga ke pelosok kampung. Berduru orang orang mendatangi pelabuhan hendak bertemu. Bukan main banyaknya orang yang mengaku sanak saudara serta kawan sepermainan. Penuh sesak pelabuhan, membuat repot para pengawal.
Malin Kondang yang belum hilang mabuk lautnya itu jadi kewalahan. Tak mampu lagi ia menerima orang-orang yang terus berdatangan. Perutnya semakin mual saja, matanya berkunang-kunang mencium aroma peluh orang-orang. Termasuk perempuan tua yang mengaku-ngaku ibunya yang membuat darahnya memuncak.

“Dasar anak durhaka. Kukutuk kau jadi ba…,” maki perempuan itu, tertahan.

“Tunggu!” teriak Malin Kondang.

Malin Kondang memang hendak bersua ibunya yang sudah puluhan tahun Ia tinggalkan. Ia malah ingin membawa ibunya ikut ke rantau. Terbayang pertemuan terakhirnya di pelabuhan dulu sewaktu sang Ibu mengantarnya berlayar. Perempuan berbaju kurung berparas ayu, berkulit kentang, berbadan sintal, berambut panjang beraroma pandan di balik selendang panjang itu tak beranjak dari tepi laut hingga kapal yang membawa anaknya menghilang. Berbeda jauh dengan perempuan yang barusan mengaku-ngaku sebagai ibunya itu. Ringkih, kulit wajahnya berkerut penuh flek hitam, ubanan dan bau matahari. Namun tatapan matanya membuat Malin Kondang penasaran.

“Istriku, tolong bawakan produk mutakhir kita!” serunya pada perempuan rupawan yang belum lama ini dinikahinya.

“Lho, untuk apa, Kakanda?” tanya sang istri heran.

“Kamu nanya?” (eh salah🤭) “Cepat, bawalah kemari!” desak Malin Kondang.

Sang istri membawakan sebuah kotak kaca teekunci. Berkilauan saat terkena sinar matahari. Ketika dibuka semerbak menguar aroma melati.

“Jika benar kau Ibuku, izinkan kuoles krim antiaging racikanku ini,” pinta Malin menyimpan maksud.

“Eh, apa pula ini ha? Kenapa kau oles balsem ke mukaku? Yang encok itu pinggangku. Ah! Dasar anak durhaka kau Malin!” repet perempuan bertongkat kayu itu tak kuasa menolak.

“Sabarlah sebentar,” ujar Malin menutup kotak krim racikannya.

“Ndak bisa! Oh, penguasa langit, dengarlah penderitaanku! Si Malin tak hanya menolak ibunya ini, tapi juga melumuriku dengan balsem. Malin, kukutuk kau jadi….,”

Duarrrrrr!!!

Seketika langit di pelabuhan menghitam, kelam. Petir menyambar-nyambar. Hujan turun lebat. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh.

Di teras kapal, perempuan tua itu berpendar mengeluarkan cahaya di tengah timpaan hujan. Tubuh ringkihnya kembali bugar. Kulit keriputnya menjadi kencang, glowing, bercahaya. Rambut putihnya kembali hitam. Penampakannya persis seperti perempuan yang mengantar Malin berlayar puluhan tahun silam.

“Ampuni aku, Mandeh!” teriak Malin Kondang bersimpuh haru.

“Akhirnya kau ingat pada Ibumu ini, Nak,” ujar perempuan itu luluh.

“Maafkan Malin, Mandeh. Untung Malin jadi pengusaha skincare, bukan saudagar rumah makan,” ujar Malin tak sanggup membayangkan.

“Betul, Nak. Untung tak jadi kukutuk kau jadi batu,” ujar sang Ibu tersenyum, “Gara-gara memikirkan nasib kau terus, Mandeh jadi begini,” bisik sang ibu, pura pura marah.

Kejadian mengharukan itu tersiar hingga penjuru negeri. Produk skincare Malin makin diminati. Malin semakin kondang saja. Bisnisnya beranak cabang di mana mana. Setiap tahun ia ajak ibunya umroh ke Mekah. Juga tak lupa membantu semua sanak saudaranya di kampung halaman sana.
*

Disclaimer!
Pssttt! Saya iseng bikin ini karena ingat obrolan makmak ketika workshop waktu itu.✌️
“Habis ngomelin anak aja menyesal, kok ya tega sampai mengutuk?! Gak suka cerita itu!” tolaknya.
Nah, kalo ceritanya jadi begini, gimana?🤭
Memang banyak sekali cerita rakyat yang terasa gak cocok lagi dengan perkembangan zaman. Namun yakinlah, semua kisah kisah tuturan itu baik, mulia tujuannya. Bagus nilai moral yang hendak disampaikannya. Tugas generasi peneruslah untuk mengakali formatnya yang kadang gak masuk akal untuk zaman sekarang itu. Jangan sampai warisan nenek moyang kita lenyap. Ilang budaya, ilanglah jati diri.

Mohon maaf kalo ada yang gak berkenan.🙏🙏😃

Tinggalkan komentar