Mendung kembali mendaki langit siang ini. Masih kudengar decis air tergilas roda sisa hujan tadi siang. Masih kurasakan sejuknya udara. Tak ada terik hari ini. Mendung saja. Dan sebuah memori, yang entah kapan dan di mana, mendesak-desak hendak keluar dari ingatanku. Sebuah rasa, yang aku pun heran apa namanya, mendominasi perasaanku.
Aku terpenjara olehnya yang kemudian jemariku menyusuri, lalu akhirnya berlabuh pada sebuah file lama. Rinai Sanjo dan Sang Fajar. Sepasang kekasih itu rupanya yang memanggil-manggilku. Yang kisahnya kuciptakan bertahun tahun lalu. Yang namanya jamak menjelma pada kisah banyak orang. Yang ketika kutelusuri jalan ceritanya segera saja menghanyutkanku entah ke mana. Entahlah. Bagimu ini mungkin aneh.
Tapi begitulah. Mereka menawanku dalam cerita suram mereka. Mereka memutar lagi lembaran-lembaran kisah itu di benakku.
Hei, bukankah sejak awal kalian sudah tahu akan kuapakan? ujarku mengingatkan.
Tidak!
Kalian tak terima pembelaanku. Kalian tetap menuntutku menuntaskan kisah.
Hidup kami suram karena ulahmu, tuduhnya membuatku terdesak. Aku terdiam. Kucoba kembali ke dunia kalian. Aku kembali masuk ke perasaan dan cita-cita kalian. Hei, bukankah aku sudah memberi kalian pilihan dan kalian memilih jalan terbaik itu? Sorakku merasa menang. Tidak! Maki kalian membentakku.
Kali ini aku benar benar tersudut. Kalian menumpahkan rasa suram itu ke dalam benakku. Tak kuat rasanya mengangkat dagu. Biru. Abu-abu. Dan sebaris warna suram lainnya menggantung tebal di depan mukaku. Kami tak ingin berakhir seperti maumu!
Jangan hentikan kami! Sorak kalian padaku. Hei, bukankah kisah kalian sudah kuselesaikan dengan indah? Tidak! Maki kalian berulangkali. Lagi lagi aku tersudut. Rupanya bukan begitu maunya kalian. Namun aku terlanjur menyelesaikannya dengan caraku.
Tak kuat rasanya berada lama lama di sana. Hari ini terlalu mendung untuk kubergelut dengan kabut kehidupan mereka. Maka buru buru saja kupencet tombol keluar dari sana. Membiarkan mereka meraung raung dan perlahan hilang dari benakku.
Ketahuilah, aku tak mungkin melupakan. Aku ingat betul mengharu birunya aku sewaktu mengukirkan kisah kalian. Berlembar tisu. Begitu menguras emosi. Dan jujur saja, aku tak cukup tenaga untuk kembali ke sana. Setidaknya untuk saat ini. Maka maafkanlah aku. Kelak, jika aku masih ada usia, akan kujenguk lagi kalian. Bersabarlah. Slalu akan indah pada waktunya, bukan? 😉
(corat coret gak jelas sore ini 😂)