Kalimat pertama

“Maafkan yang tak termaafkan.”

Inilah kalimat pertama yang saya baca pagi ini. Bagi saya ini dalam sekali. Sangat pantas untuk diinap renungkan sepanjang hari. Karena pagi adalah penentu.

Memaafkan yang tak termaafkan.

Lebaran 1443 H

Begitu membuka mata, reflek ngambil gelas air di meja sambil baca niat puasa begitu bangun tidur. Dalam kondisi masih sempoyongan itu akhirnya tersadar, tidak. Tak ada lagi puasa hari esok hari. Ramadhan telah pergi. Seketika ada yang terbang rasanya. Ada perasaan kosong dan entah apa nama jenis emosinya. Ada yang hilang, ada yang pergi meninggalkan diri. Ya, saya tahu, semua orang juga merasakan hal yang sama. Ramadhan tak ada lagi. Ia telah pergi. Ke langit sana. Meninggalkan kita semua. Sedih tentu saja. Baru saja terlatih sedikit eh tau tau masa latihannya selesai begit saja. Seperti anak ayam ditinggal induknya, gamang. Seperti buah kelapa tercerai dari tampuknya, terbuang.
Benarkah perasaan ini?

Pagi itu, langit tertutup awan tebal. Ranum mengandung benih hujan yang lantas tumpah ruah ke muka bumi. Seperti mengisyaratkan rasa yang sama, langit pun tak rela ditinggalkan. Suara takbir bergema di sela sela gempuran hujan. Menyuarakan kemenangan. Menyuarakan keberhasilan usai berperan mengalahkan diri sendiri. Memanggil-manggil dengan aura kegembiraan. Hey, bukankah inilah masa yang ditunggu semua orang? Kenapa sedih? Kenapa merasa kehilangan?


Tidak, ramadhan tak benar benar hilang. Ia ditertanam ke dalam diri. Ia senantiasa ada. Ia hanya berjarak untuk membiarkan para manusia mandiri setelah ditempa. Sekaranglah masanya menunjukkan seberapa dalam jejaknya tinggal dalam jiwa. Seberapa berbekasnya ia menuntun langkah melanjutkan kehidupan fana nan semu lagi sementara ini.


Dengarkan merdunya suara takbir itu! Alangkah merdunya. Perlahan perasaanku mulai membaik. Berkemas, lalu membelah tirai hujan menuju rumah Tuhan. Dalam perjalanan hujan tak hentinya memeras diri. Menghadirkan ruang hening. Ramadhan itu berpendar, berputar-putar dengan gemerlap cahayanya. Menyapaku dalam ruang itu.


Pelan, langit meniupkan sejuk yang tak biasa. Ramadhan memang telah pergi. Namun ia tidaklah benar benar pergi. Jemputlah ke ruang hening sewaktu-waktu kala kau merindukannya, begitu ujarnya.

Taqablahabu minna wa minkum. Mohon maafkan lahir dan batin.
Selamat Hari Raya Idulfitri 1442 H

#catatanringanbulansyawal