Masihkah kita semua ingat soal Perjanjian Paris tahun 2015 lalu tentang isu perubahan iklim? Baiklah, sekedar mengingatkan kembali. Perjanjian Paris 2015 lalu adalah kesepakatan internasional tentang perubahan iklim yang poin utamanya mengurangi emisi gas karbon di dunia setelah tahun 2020.
Atau menjaga ambang batas suhu bumi di bawah 2 derajad celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajad celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri. Perjanjian Paris didukung 195 negara dan ditanda tangani oleh 171 negara termasuk Indonesia.
Sama-sama sudah kita ketahui, sejak Revolusi Industri berlangsung suhu bumi semakin menghangat. Hal ini membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup di bumi. Seperti, terjadinya perubahan pola cuaca ekstrim di seluruh dunia yang berdampak pada melelehnya es kutub. Semakin seringnya terjadi bencana alam di berbagai penjuru dunia, kayak banjir, longsor, badai, kekeringan ekstrim, kemarau panjang, kebakaran hutan, kerusakan terumbu karang, dan lain sebagainya.
Trus, mungkin ada yang heran, apa hubungannya sama Revolusi Industri, sih? Ya, jelas ini sangat berhubungan. Revolusi Industri itu masa bermulanya manusia menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil. Yang makin hari makin banyak digunakan di dunia. Baik itu mobil, kereta api, pesawat, sepeda motor dan lainnya.
Gas buangan dari kendaraan berbahan bakar fosil ini lama-lama terakumulasi di udara. Menimbulkan penumpukkan gas karbon yang menyelubungi bumi (efek rumah kaca) dan akhirnya menyebabkan suhu bumi meningkat seperti sekarang.
Dan tujuan dari Perjanjian Paris 2015 ini ialah untuk bersama-sama menahan laju kenaikan suhu bumi seperti masa sebelum Revolusi Industri. Mungkinkah? Tentu saja bisa jika kita semua bersepakat untuk berubah.
Perubahan itu Keharusan
Sekilas tentu saja terlihat rumit merubah gaya hidup penduduk dunia selama ini. Misal, mana mungkin sih kita bisa menghindari ‘jejak karbon’ sementara kita sudah hidup dalam mobilitas yang tinggi. Kayak harus bepergian dengan pesawat, mobil, motor, yang jadi penyumbang karbon di udara itu.
Atau mana mungkin sih kita bisa lepas dari penggunaan listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berenergi kotor (batu bara) itu? Sementara kita butuh pasokan listrik besar untuk berkegiatan sehari-hari
Rasanya sulit dan akan memakan waktu lama sekali jika gerakan perubahan hanya dilakukan oleh per-individu saja. Sebutlah, tidak memakai sedotan atau kantong plastik lagi, mengurangi konsumsi daging karena peternakan daging selama ini turut berkontribusi pada pemanasan global, hanya naik kendaraan umum demi mengurangi emisi karbon, memelihara pohon di halaman, dan sebagainya.
Eits! saya nggak bilang gerakan per-individu tersebut sia-sia lho, ya. Hanya saja kita butuh sesuatu yang menggebrak, lebih besar dari itu semua.
Situasi sudah sangat mendesak dan darurat. Maka di sinilah peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk melakukan perubahan signifikan itu. Untuk Indonesia sendiri, negara punya kewajiban melindungi segenap warga negaranya seperti amanat Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Nah, seandainya saya jadi pemimpin, saya akan lakukan hal berikut ini demi masa depan Indonesia.
Jika Saya Jadi Pemimpin
Baru-baru ini dunia dikejutkan oleh aksi anak muda bernama Greta Thunberg dari Swedia sana. Ia menuntut pemimpin politik agar melakukan aksi nyata guna menahan laju perubahan iklim yang makin mengkuatirkan. Aksi mogok sekolahnya mandapat sorotan dunia dan jadi inspirasi bagi anak-anak muda di dunia.
Bagaimana dengan peran pemuda di Indonesia sendiri? Walau masuk sebagai salah satu negara dalam Perjanjian Paris, nyatanya gaung perubahan iklim tidak begitu bergema di Indonesia.
Saya sedih harus mengatakan bahwa, isu perubahan iklim ini tidak dipahami oleh sebagian besar pelajar kita atau bisa dibilang, sedikit sekali yang paham soal apa yang sedang terjadi di muka bumi ini. Tapi bukan berarti ini tak bisa diatasi.
Nah, seandainya saya jadi pemimpin maka langkah pertama yang akan saya ambil adalah segera melakukan intervensi di bidang pendidikan, diluar kebijakan-kebijakan krusial lainnya tentu saja.
Dunia Pendidikan
Perubahan iklim terkait dengan perilaku manusia. Sedangkan kita tahu bahwa inti dari pendidikan itu sendiri ialah mengedalikan (merubah) perilaku manusia untuk tetap berada di relnya. Maka itulah sebabnya isu perubahan iklim harus masuk ke ranah pendidikan secara holistik, jadi kurikulum yang wajib dipelajari semua pelajar untuk semua tingkatan kelas.
Secara teknis, isu perubahan iklim tak harus jadi satu mata pelajaran baru, kok. Isu perubahan iklim justru bisa merasuk dalam hampir semua mata pelajaran sekolah. Sebut saja mata pelajaran Mipa atau Sains. Pada subjek ini pelajar belajar mengenai pencernaan kan, ya? atau mengenai bahan pangan. Nah, isu perubahan iklim bisa disisipkan di materi ini.
Bagaimana agar pelajar sadar bahwa mereka harus lebih cenderung mengosumsi sumber pangan dari tumbuhan ketimbang daging-dagingan. Yang sama-sama kita tahu peternakan daging (kotorannya) merupakan salah satu penyebab pemanasan global.
Atau belajar bagaimana cara menghitung jejak karbon dari aktivitas sehari-hari dengan rumus-rumus matematika. Atau pelajar mengetahui dampak dari perubahan iklim terhadap kesehatan mereka sendiri.
Di pelajaran Bahasa misalnya, pelajar bisa berlatih menulis artikel atau makalah bertemakan perubahan iklim. Seperti, apa dampak perubahan iklim atau apa saja hal yang bisa mereka lakukan guna mengurangi dampaknya. Dengan aktivitas ini pelajar secara tak langsung berusaha memahami situasi bumi saat ini.
Untuk pelajaran Seni. Ada banyak alternatif dalam subjek ini. Misal, dengan mengadakan pertunjukkan teatrikal bertema efek perubahan iklim terhadap manusia. Menciptakan karya dari bahan bekas, dan lain sebagainya.
Dalam mata pelajaran agama pun isu perubahan iklim ini sangat relevan dan sangat berkaitan. Karena isu perubahan iklim adalah isu mengenai perilaku manusia yang juga merupakan titik tuju dari mata pelajaran agama. Yakni, bagaimana membuat pelajar paham akan hakikatnya sebagai khalifah dan paham bahwa makhluk hidup lain juga punya hal hidup di bumi ini.
Begitu pun untuk mata pelajaran IPS, ada banyak pintu untuk mengenalkan isu ini pada pelajar kita. Misal, pelajar mempelajari topografi bumi antara dulu dan sekarang. Pelajar bisa mengetahui jejak-jejak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.
Dari subjek ini pelajar juga bisa memahami dampak sosial dari pemanasan global. Mengetahui hitung-hitungan kerugian akibat bencana alam untuk subjek ekonomi misalnya. Dan banyak contoh pengaplikasian lainnya.
Di luar pendidikan formal pun pelajar juga bisa dijejali pengetahuan seputar perubahan iklim. Misal, lewat organisasi sekolah. Akvitas seperti gerakan menanam pohon atau aksi bersih-bersih lingkungan juga bisa jadi jalan masuknya.
Anggota organisasi juga bisa saling terhubung dengan organisasi di luar sekolah untuk mengetahui informasi ini lebih banyak lagi. Nah, ini barus contoh kecil saja dari saya. Pengaplikasinnya tentu harus disesuaikan dengan jenjang kelas dan kemampuan penyerapan mereka.
Dengan langkah ini saya yakin perubahan iklim bisa diatasi. Jika ini segera diterapkan, sebentar lagi kita akan melihat peran pemuda Indonesia akan bersinergi dengan gerakan-gerakan pencegahan yang sedang dilakukan di seluruh penjuru dunia.
Momen Pandemi, Momen Simulasi
Memang sulit untuk mengakui bahwa kita sudah berlaku tak adil pada alam ini. Manusia terlalu bernafsu mengeskploitasi melebihi kebutuhannya. Mengeruk alam tak sekedar untuk kenyang dan bertahan hidup saja, tapi lebih kepada keinginan menumpuk atau mengoleksi kekayaan lebih banyak lagi.
Semakin banyak modal, maka semakin banyak pula laba yang akan diperoleh. Perilaku atau paham ini makin seragam dilakukan banyak orang di dunia. Menjadi benang merah yang menandai zaman ini. Atau biasa kita sebut sebagai sistem (kapitalisme).
Pemahaman ini tampa disadari membuat manusia berpilaku buruk, yakni berujung pada rusaknya planet bumi satu-satunya ini.
Kemarau panjang, gagal panen, kelaparan masal, hanyalah satu helai dari jalinan kerusakan akibat perubahan iklim. Semua dampak makin sembraut bak benang kusut.
Aksi-aksi kecil kita semisal hidup dengan pola ecogreen, mendemo/menggugat perusahan penghasil sampah plastik, berhenti makan daging, dan lainnya itu tak akan berarti banyak tampa adanya ‘gerakan ekstrim’ dari pemimpin berbagai negara. Dan pandemi corona ini datang seakan menjadi jawaban atas persoalan besar ini.
Anggap saja kita sedang menjalani simulasi perubahan selama masa pandemi. Anggap saja pandemi ini adalah hadiah pemilik alam dan permodelan dari perubahan sistem baru.
Selama pandemi tingkat konsumsi yang berdampak buruk bagi lingkungan menurun drastis, angka polusi udara menurun walau itu bukanlah angka signifikan dalam laju perubahan iklim, langit kembali biru, manusia mengerem pengeluaran untuk hal sia-sia yang bersifat konsumtif, dan timbulnya kesadaran akan kebutuhan menyayangi alam. Ini adalah beberapa hal-hal baik yang harus tetap kita pertahankan sebagai gaya hidup baru.
Situasi pandemi dunia saat ini sudah cukup jadi gambaran, bahwa kita sebenarnya bisa berubah. Warga dunia bisa merubah pemahamannya, perilakunya untuk bisa hidup selaras dengan alam. Dan kita tinggal menunggu aksi-aksi nyata para pemimpin dunia untuk mengukuhkannya.
#perubahaniklim
#pendidikan