Pengakuan Dosa

pengakuan dosa

Pagi jelang siang, di kelas yang dipenuhi siswa baru, saya mondar-mandir layaknya komandan tengah inspeksi. Tak lain tujuannya guna menebar hawa horor pada wajah-wajah polos mereka. Sebelum semua ritual tahunan dimulai, pasal mandraguna lebih dulu dibacakan. Pasal satu, senior selalu benar. Pasal dua, jika senior salah, maka kembali ke pasal satu. Apalagi tujuannya kalau bukan sebagai pagar, tembok diri. Ya, semua kita hafal betul dengan pasal yang dicipta entah oleh siapa ini. Dan anehnya semua seakan manut patuh pada kedua pasal ini. Satu dua ada juga yang melawan. Ruang tiga belas jadi ruang tawanan bagi yang coba macam-macam.

Siang jelang sore itu, saya tega sekali menghukum mereka. Mereka saya paksa makan telur rebus yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hukuman yang menyenangkan, bukan? Tapi tidak setelah seorang siswa baru jadi korban kemarahan saya. Dia sampaimuntah-muntah, mata dan wajahnya memerah, tubuhnya lemas, saking tak sukanya pada telur. Jujur saja, saat itu rasa bersalah tepatnya rasa takut mendera saya. Saya tak berpikir panjang sebelum memaksakan perintah.

Tapi anehnya itu anak gak bilang kalau dia alergi telur. Tak ada perlawanan atau informasi apapun yang ia keluarkan mengenai dirinya. Di titik ini, terlepas kami-kami ini adalah anak-anak kampung (daerah) atau bukan, saya merasa ada yang salah. Keberanian mengemukan pendapat, takut salah, takut ditertawakan, kuatir menyinggung perasaan, manut, tak berani membela diri sendiri, dan berbagai hambatan lainnya itu begitu kental mengungkung diri. Kenapa menunggu muntah-muntah dulu baru memberi tahu orang lain (bisik-bisik) soal kondisi diri? Takut akan dicatat dengan tinta merah? Takut bakal disakiti setelah proses belajar mengajar nanti dimulai?

Entahlah, yang jelas, saya dan para ‘pembalas dendam’ lainnya jelas-jelas tak punya kuasa apapun setelah masa orientasi itu berakhir.

[Read more…] Bertahun-tahun setelahnya, saya bertemu salah satu dari mereka, adik kelas laki-laki. Darinya saya tahu, cara saya memperlakukan mereka tidaklah sebaik yang saya sangka. Dia bilang saya pengospek judes, jutek, dan embel-embel tak enak lainnya. Padahal peristiwa itu berlangsung bertahun-tahun silam, tapi dia masih ingat. Padahal semua nasehat wajib itu demi kebaikkan mereka (*ngeles..ehh). Itu artinya tindakan saya membekas ‘buruk’ dalam kenangan mereka. Oh, Tuhan! Ternyata saya tak selembut yang abang-abang/ kakak-kakak saya keluhkan. Hiks!

Saya tak akan membela diri. Jika ini sebuah kesalahan, saya minta ampun pada kalian semua. Saya juga terlebih dulu melapangkan hati pada ‘pembalas dendam’ pengospek saya sebelumnya. Ya, kita sama-sama korban ternyata. Korban dari kegiatan ramah tamah ‘mengasyikkan’ yang entah apa dampak positifnya itu.

Saya juga pernah dihukum, disaksikan semua warga sekolah sambil ditepuki, disoraki beramai-ramai. Mereka semua tertawa. Bagaimana tidak, saya dan para pesakitan lainnya itu dipaksa lari keliling lapangan. Bayangkan, ini bukan lari biasa.

Lari dengan menyandang sepatu yang diikatkan kedua talinya di leher. Berlima, berenam, entahlah, saya lupa, dengan kaos kaki kami mengelilingi lapangan sambil meneriakan kalimat pengakuan dosa. Meneriakkan kalau saya gila. Kurang ajar sekali memang. Sampai-sampai setelah mos berakhir pun mereka masih meledek saya. Tahu, kesalahan kami apa? Ya, hari itu saya pakai kaos kaki warna coklat, harusnya putih. Senior perempuan waktu itu bukan main judesnya, pedas. ^^v

Dan ini bukan hukuman satu-satunya, pernah juga di suruh joget di depan orang banyak, apa-apaan coba. Waktu disuruh kumpul tanda tangan senior, banyak juga yang memeras. Menghargai tanda tangan meliuk-liuk mereka dengan sebatang coklat. Hahay, sudahlah ya. Ingat seru-serunya saja. Mereka pun ternyata juga korban dari senior-senior mereka sebelumnya. Nah, pertanyaannya, ini rantai kapan ada ujungnya? PR untuk kita semua. Gak mau dong ya, anak-anak kita jadi rantai ‘dendam’ berikutnya?

Kembali ke kelas di atas. Mumpung masih jelas teringat dan tak ada niat untuk melupakan. Sebelum karet di kepala menghapus kenangan lama. Jadi, sebenarnya telur yang mereka bawa itu prosedurnya bukan untuk dimakan sekali habis. Ah, saya lupa, kami punya tujuan apa dengan telur yang mereka bawa itu. Yang jelas, sebelumnya saya koar-koar gak jelas di kelas yang saya pegang. Saya memaksa mereka satu persatu menjawab pertanyaan yang saya sendiri saat itu tak bisa jawab. Aneh sekali memang.

Saya suka senyum-senyum sendiri jika keingat kejadian ini. Jadi orang kok suka sekali maksa. Sebenarnya sudah pernah ditanyakan ke guru kami. Tapi jawabannya terlalu tinggi untuk saya fahami. Jiwa saya masih sangat kerdil. Jadi yang kena imbas, ya anak-anak baru ini. Dan sebenarnya saya berharap adik-adik yang baca tulisan besar di papan tulis waktu itu masih ingat dan mencari tahu jawabannya. Karena jujur saja, sampai sekarang pun saya masih berkutat dengan pertanyaan tiga kata itu. Pertanyaan simple yang entah muncul dari mana. Tapi membuat dunia saya jungkir balik. Hanya tiga kata saja. Bunyinya, Apa Tujuan Hidupku?

Dan sekali lagi, tolong maafkan saya atas tingkah tak baik bertahun silam itu. ;( saya hanya ingin meninggalkan jejak, kenangan baik di benak kalian. Itu saja. Dan fyi, tulisan ini muncul setelah baca postingan tentang mos di medsos barusan. Dan saya setuju jika mos dihapuskan, diganti dengan program perkenalan yang lebih ‘mengena.’ Jangan lagi ada tindakkan tindas menindas di antara kita. *peace* 😀

8 respons untuk ‘Pengakuan Dosa

  1. Isnaini S Ibiz berkata:

    Iyai, saya nggak nyaman bacanya. Semoga lekas bisa diperbaiki ya, mbak. Sudah lama nggak pake wp jadi sudah lupa. Tapi kalo juga biasa hanya copas di word lalu paste, atur ulang lagi di entry. 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar