Kenapa Harus Bikin Film

Kenapa harus bikin film?
Oleh. Eci FE

Menarik menjawab pertanyaan di atas dari sudut pandang “chip” yang tertanam dalam diri manusia, concious mind dan unconcious mind. Namun sebelumnya kita kenali dulu apa arti film itu sendiri. Dalam bahasa, kata film adalah sebutan untuk lembaran rol pita pada perangkat kamera. Kata ini diadaptasi dari kata ‘movie’ atau moving picture (gambar bergerak).

Pada awalnya perekaman ditujukan untuk mereka yang tak sempat menonton pertunjukkan teater secara langsung. Lalu film kemudian mengalami perkembangan hingga seperti sekarang. Film bisa ditontong kapan saja dengan mendatangi gedung bioskop. Atau bisa juga diputar di rumah masing-masing sesuai genre film yang diinginkan lewat keping dvd.

Seperti halnya teatre, film dibuat untuk tujuan menghibur. Karena hiburan adalah salah satu kebutuhan manusia yang harus terpenuhi. Namun lambat laun tujuan ini mengalami perluasan muatan. Contohnya, dengan menonton film India (bollywood) yang identik dengan romansa percintaan, kita bisa mengintip budaya mereka, kebiasaan masyarakatnya, serta isu-isu sosial yang sedang mereka di hadapi.

Begitu pun dengan perfilm-an hollywood yang cenderung menampilkan kisah kepahlawanan lewat sosok-sosok heroik yang bertujuan membangkitkan rasa percaya diri dan nasionalisme warganya. Atau yang sedang naik daun sekarang, Korea Selatan. Dari drakor (drama korea) dengan branding kekeluargaan (hubungan personal), kita bisa sekaligus mengintip kehidupan dan kebudayaan mereka yang unik.

Mereka terhitung berhasil menularkan “demam drakor” pada dunia dan jadi magnet yang menarik mata dunia melirik kehidupan kebudayaan mereka lebih jauh. Jadi film tak hanya hadir sebagai tontonan. Namun juga sebagai corong untuk mengenalkan produk kebudayaan pada dunia. Yang pada akhirnya juga membawa dampak lainnya. Seperti majunya dunia pariwisata, kuliner, dan sektor lainnya.

Di dalam negri sendiri dunia perfilm-an sedang mengalami perkembangan ke arah lebih baik. Banyak film-film kita yang memperoleh pengakuan di tingkat internasional. Begitu pun dengan aktor/aktrisnya. Sebut saja nama Iko Uwais. Dalam sebuah video yang diunggah akun @Rotten Tomatos, Peter Berg, sutradara film Miles 22 mengakui kepiawaian Iko Uwais dan menyamakan Iko dengan aktor dunia sekelas Bruce Lee dan Jacky chan.

Di mata dunia, Iko adalah ikon silat Indonesia. Lewat film laganya, Iko sukses mengenalkan salah satu produk kebudayaan Indoensia tersebut pada dunia. Tentunya kita patut bangga pada pencapaian Iko, dan berharap akan lahir produk-produk menarik berikutnya. Sebab Indonesia punya modal besar yang patut ditonton masyarakat dunia.

Kembali ke awal. Menarik melihat bagaimana sebuah film bekerja mempengaruhi prilaku manusia. Dalam ranah psikologi kita mengenal dua istilah, consious mind (pikiran sadar) dan unconsious mind (pikiran bawah sadar). Pikiran sadar identik dengan pikiran kritis (siaga). sebaliknya, pikiran bawah sadar bekerja ketika pikiran dalam kondisi santai.

Contoh. Pada saat seeorang menonton film, membaca, menyimak, bermenung, saat mengantuk, pikirannya berada dalam kondisi rileks/santai. Fase ini biasa disebut fase hipnotis. Dimana otak berada di kisaran gelombang Alfa.

Pada fase ini gerbang pikiran bawah sadar (unconcious mind) terbuka lebar. Otak akan meresap dan merekam apa pun yang masuk seperti yang terjadi pada orang yang dihipnotis. Baik itu melalui pendengaran atau pun penglihatan. Input ini akan mengendap lama dalam pikiran. Tampa disadari akan menjadi dasar bertindak dan bersikap yang kemudian mengendalikan kehidupan sosial seseorang.

Seperti pisau bermata dua, sifat pikiran bawah sadar ini sangat lugu sekali. Ia bisa membawa kebaikan, dan juga sebaliknya membawa kehancuran. Pikiran bawah sadar tak punya daya kritisi seperti halnya pikiran sadar. Ia tak bisa membedakan mana input positif dan mana yang negatif. Jika yang terinput buruk, maka outputnya tentu juga buruk. Begitu pun sebaliknya.

Inilah yang terjadi pada kenakalan remaja yang marak belakangan ini. Pada anak-anak dan remaja, unconcious mind (pikiran sadar) mereka masih dominan. Daya kirtisi yang menjadi domainnya concious mind (pikiran sadar) masih rendah (tahap berkembang).

Mereka akan melahap apa saja yang disodorkan pada mereka. Semisal pada kasus pornografi anak. Kenakalan ini tak jarang berawal dari kegiatan mereka menonton film/rekaman buruk. Lalu konten tersebut bekerja dalam pikirannya hingga mendorong untuk melakukan hal serupa. Tentu prilaku ini sangat disayangkan. Sementara kita tahu, makin meluasnya akses internet tak mungkin bisa dibendung lagi. Konten-konten negatif makin mudah didapatkan oleh siapa saja, termasuk oleh anak-anak, generasi penerus bangsa ini.

Maka, inilah PR besar bagi kreator-kreator film masa kini. Melawan konten-konten negatif dengan memproduksi film-film sebagai tontonan yang mendidik tampa kehilangan aspek hiburannya. Indonesia adalah sumur berlimpah mata air yang tak akan habis digali. Ada begitu banyak ide yang bisa diangkat. Ada begitu banyak kisah untuk kembali dikisahkan dalam bingkai layar. Ada banyak sekali produk lokal untuk diperkenalkan pada masyarakat dunia.

Entah itu dunia kuliner Indonesia yang begitu kaya dan beragam, adat tradisi yang berbeda beda, keindahan alam, dan banyak hal lainnya yang perlu disiarkan kepada masyarakat dunia. Jadi, kenapa kita harus bikin film? Karena film tak lagi berfungsi sekedar hiburan. Namun juga alat untuk mengendalikan laju zaman.

*

Makasi sudah mampir..🙏😸

Tinggalkan komentar