Hutan dan Udaraku

Infografis Hutan Tropis Indonesia

Setelah pohon terakhir tumbang, sungai terakhir tercemar, ikan terakhir dipancing, barulah kita sadar. Uang tak bisa dimakan.

Dalam, menggigit, sekaligus menyentil banget bunyi pepatah suku Indian di atas. Ada kemarahan, kejengkelan, juga bayang-bayang putus asa yang saya tangkap. Emosi serupa yang juga saya atau kita semua rasakan beberapa waktu belakangan.

Berbicara tentang alam artinya bicara tentang diri kita sendiri sebagai manusia. Merawat alam berarti juga merawat manusia. Alam takambang jadi guru (alam terkembang jadikan guru), begitu pepatah minang menuturkan. Alamlah yang mengajarkan kebijaksanaan. Ia seperti kasih sayang ibu yang selalu tercurah sekaligus jadi tempat kita kembali. Namun lihatlah kini, alam serupa lemari kayu tua yang digerogoti rayap, berlubang sana sini. Kita telah menyakiti ibu kita sendiri.

Masih terlintas di benak, betapa bangganya guru-guru saya bercerita di depan kelas ketika itu. Betapa beruntungnya kita tinggal di Indonesia. Kampung kita asri karena dikelilingi hutan yang jadi paru-paru dunia. Iya, kitalah paru-paru dunia itu.

Kebanggaan sebagai paru-paru dunia seketika merasuk ke dalam jiwa. Hey, kamilah penghasil oksigen (O2) terbanyak di dunia. Udara segar yang kalian hirup setiap detik itu berasal dari hutan, pepohonan subur kami. Tak hanya itu, karbondioksida (CO2) sampah pernapasan yang kalian hasilkan, juga ampas kendaraan-kendaraan berbahan bakar fosil serta cerobong pabrik itu juga diserap kembali oleh hutan kami. Jutaan bahkan milyaran ton karbondioksida perhari diteguknya. Bayangkan, betapa hebatnya, betapa baiknya hutan kami, hutan kita ini.

Perhatikan meja, kursi, lemari, perabotan-perabotan mewah, atau bahkan balok-balok penyangga rumah kita. Puluhan tahun, bahkan hingga ratusan tahun hutan menumbuhkannya untuk sebatang pohon saja. Dan hanya butuh sekian menit saja tukang babat menggergaji dan menumbangkannya. Gelondongan-gelondongan batang pohon itu lantas dihanyutkan dari hulu sungai, dibawa pergi dengan truk-truk besar. Diperjual-belikan, disulap jadi barang-barang indah di rumah-rumah kita itu. Adakah kita berterima kasih kepada hutan?

Ketika hari libur tiba, tak jarang kita berkunjung ke kebun binatang. Dengan alasan mengenal bentuk serta kebiasaan hidup mereka di hutan. Dari sana kita seolah dapat melihat, membayangkan kehidupan asli mereka di hutan. Sembari mengetahui bahwa hanya < 400 ekor harimau Sumatara saja yang tersisa. Si raja hutan itu kini hidup terdesak dan mungkin tak lama lagi punah. Tak akan pernah kita jumpai lagi di dunia ini. Relakah kita membiarkannya terjadi?

Tak hanya sang raja hutan, gajah Sumatra juga sudah masuk dalam kategori kritis. Ya, gajah yang pundaknya kita tunggangi keliling taman itu sudah di fase kritis. Sebentar lagi punah. Tak hanya gajah, badak Sumatra juga bukan main mengkuatirkan penurunan jumlah populasinya. Hanya tersisa < 300 ekor saja, benar-benar terancam punah. Begitu pun dengan orangutan yang sama-sama kita ketahui betapa masif penurunan jumlah populasinya sekarang. Baik di pulau Sumatra maupun Kalimantan. Akankah kita hanya mengenang lewat gambar saja setelah ini?

Hewan-hewan langka penghuni hutan itu kini berstatus kritis terancam punah. Mereka kehilangan habitat, berkomflik dengan manusia, dan diburu untuk diambil anggota tubuhnya. Kulit belang harimau yang begitu berharga, gading gajah yang membuat kaya raya, cula badak yang katanya berkasiat obat, dirampas paksa oleh oknum yang entah kenapa terus saja merajarela.

Baru-baru ini ada kabar dari kampung sebelah, salah satu daerah di Sumatra Barat. Harimau berkeliaran di dekat pemukiman warga. Mengancam warga yang baru pulang dari kebun. Di tempat lain juga tersiar kabar ada gajah masuk kampung. Ada yang berhasil masuk perangkap. Ada juga yang terpaksa mati mengenaskan. Mereka tentunya tak ada niat mengganggu manusia. Mereka hanya mencari makanan, pengganjal perutnya yang lapar. Salah mereka, kah?

Tak hanya hewan-hewan penunggu hutan, suku pedalaman yang turun temurun sejak ratusan tahun silam menghuni hutan hujan tropis pun ikut terusik hidupnya. Suku Mentawai di kepulauan Mentawai, suku Anak Dalam yang tersebar di Bukit Barisan sana juga mengeluh. Hutan mereka tak sebaik dulu lagi.

Belakangan ini hujan yang selalu berhasil membuka kotak kenangan itu turut menyematkan kekuatiran di benak banyak orang. Hujan yang turun berjam-jam hampir selalu diiringi kabar buruk. Ada banjir bandang di daerah sana yang menghantam rumah, sekolah bahkan rumah ibadah. Ada banjir yang menghanyutkan jembatan di daerah situ. Atau ada longsor yang menghilangkan nyawa orang di perbukitan sono. Terus menerus. Seakan berita-berita buruk ini akan terdengar biasa saja di telinga kita dimasa mendatang.

Kampung saya Sumatra Barat yang berkontur perbukitan hijau itu kini kian menakutkan tiapkali hujan turun lama. Sungai-sungai yang meluber hingga pemukiman itu tak hanya membawa air keruh, tapi juga ranting-ranting kayu berdiameter lebar yang entah dikerat oleh hewan apa di hulu sana.

Bencana Kabut Asap

Tiap kali berkunjung ke ibukota hal pertama yang saya keluhkan itu adalah polusi udaranya. Selain suasananya yang begitu padat, saya juga sesak tiap kali bernapas. Maka sebelum menginjakkan kaki di ibukota saya selalu sediakan masker. Jika tidak, tiga hari atau seminggu pertama di sana saya akan terus batuk-batuk.

lanhit merah jambii

(Langit memerah di Jambi – kebakaran hutan tahun 2019)

Dan siapa menyangka kampung kami yang berudara segar akhirnya mengalami hal serupa bahkan lebih parah dibandingkan ibukota. Terakhir tahun 2019 lalu, bencana kabut asap melanda Sumatra dan Kalimantan begitu hebatnya.

Begitu media menayangkan berita kebakaran hutan di provinsi sebelah saya sudah menebak. Tak lama lagi pasti asap itu bertandang ke kampung kami. Benar saja, dini hari jelang subuh saya tersentak karena tersedak dan batuk-batuk. Langit pagi yang biasanya biru cerah memutih seperti mendung akan turun hujan.

Hamparan gunung yang bersambung dengan bukit barisan di kejauhan mendadak hilang dari pandangan. Semua putih. Semua tertutup kabut asap. Semua orang memakai masker. Pintu-pintu dan lubang angin rumah ditutup. Sekolah-sekolah diliburkan. Sampah-sampah rumah tangga menumpuk karena tak boleh membakar. Aktivitas warga melambat. Bahkan ada yang terpaksa terhenti sementara.

Ketika saya melewati jalan di daerah perbukitan, kabut asap terlihat seperti kapas tersangkut di ranting pohon. Suasana perbukitan yang biasanya jernih itu terlihat menguning. Lalu ketika angin berembus, kabut akan tumpah ke tempat yang lebih rendah seperti tumpahan susu panas dari teko ke dalam gelas.

Sama halnya dengan daerah perbukitan, daerah pantai pun tak luput dari selubung putih ini. Pulau yang biasanya terlihat jelas di seberang laut, tiba-tiba lenyap. Sekian minggu lamanya kami tak makan ikan. Jika pun ada, harganya mahal. Para nelayan enggan melaut karena takut tersesat di tengah lautan. Tentu alasan ini bisa dimaklumi. Tersesat di daratan bisa bertanya pada orang lalu lalang. Tersesat di laut? Bisa-bisa malah jadi keliling dunia. Begitu kelakar saya pada seorang teman.

Bagi warga lain tak ada ikan bisa beralih ke sumber protein lainnya. Namun bagi para nelayan yang jauh dari pusat kebakaran hutan, tak melaut berarti tak makan. Maka siapa bilang bencana kabur asap tak merugikan banyak orang?

Tak hanya urusan perut, kabut asap sangat mengancam kesehatan. Banyak warga terserang infeksi saluran pernapasan dari mulai bayi hingga manula. Sebutlah seperti ISPA, asma, infeksi paru, infeksi hidung tenggorokkan, iritasi mata, masalah jantung, bahkan berjatuhan korban nyawa. Tragisnya, konon menghirup udara beracun itu berfek pada kesehatan jangka panjang. Entahlah.
Tiba-tiba saja menghirup udara yang biasanya gratis itu terasa mahal dan mewahnya. Di sisi lain dunia transportasi seperti penerbangan dan perairan juga mengalami hambatan yang tentu saja merugikan.

RI Tak Sendiri, Negara-Negara Ini Juga Pusing dengan Karhutla

Jika ingin membayangkan apa rasanya hidup dikepung kabut asap, coba saja berdiri dan bernapas dekat pembakaran. Sesak, pengap, mungkin juga sedikit panik. Begitulah yang kami rasakan. Maka wajar saja jika tahun kemaren itu kami, warga Sumatra, Kalimantan dan mungkin kita semua merasakan marah. Bencana ini bukan murni bencana alam. Tapi terkesan dibuat-buat setiap musim kemarau tiba.

Jika sebelumnya saya percaya hutan kita adalah paru-paru dunia, tapi tidak lagi setelah bencana kabut asap terjadi berulangkali. Orang-orang terhenyak oleh kenyataan angka-angka yang dipaparkan instansi terkait.

Tak usah jauh-jauh mundur kepuluhan tahun silam. Kita tengok ke tahun 2015 saja. Data dari KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menyatakan luas hutan kita menyusut hingga tersisa 128 juta hektar saja. Deporetisasi, pembakaran dan pembalakan liar diduga jadi biang keladinya.

Lalu di tahun 2017 KLHK kembali menyentak kita. Luasan hutan kembali menyusut sampai tersisa 125 juta hektar. Dan data terakhir tahun 2019 KLHK mencatat bahwa luas hutan kita tersisa 94,1 juta hektar saja atau sekitar 50,1% dari total daratan. Menyusut sedemikian cepatnya.

Jika selama ini yang kita pahami bahwa deforetisasai sebatas pada kebakaran dan penebangan kayu liar saja, kita salah. Menyempitnya wilayah hutan juga terjadi akibat pengalihfungsian lahan hutan menjadi perkebunan, pertambangan, pemukiman atau pembukaan jalan, dan tumpang tindih lainnya.

Sebagian oknum membuka hutan dengan cara membakar lahan. Lalu kemarau ditambah El Nino memperparah keadaan. Kebakaran meluas tak terkendalikan. Menambah keparahan pemanasan global yang sedang melanda bumi. Nah, jika deforetisasi terus dibiarkan terjadi dengan semena-mena tampa regulasi yang jelas, akankan status negri kita sebagai paru-paru dunia hanya tinggal kenangan saja? Bagaimana nasib anak cucu kita nanti?

 

Terdampak

Pengrusakan hutan atau deforetisasi seperti yang sudah kita ketahui bersama juga berdampak pada perubahan iklim. Dari tahun ke tahun suhu bumi terus naik. Sebagai warga pantai saya cukup merasakan dampak ini. Gerah, matahari serasa memanggang kulit ketika terik. Bahkan malam hari pun udara terasa panas.

Baru-baru ini di awal tahun, kami warga pantai mengalami kekeringan. Sumur-sumur kami mengering. Pertamakali dalam sejarah hidup saya mengalami kekeringan semacam ini. Berhari-hari harus mengungsi mandi ke tempat lain. Berebut air pamsimas yang mengalir tipis-tipis dua kali sehari itu ke rumah-rumah dalam komplek. Hujan yang dinanti-nanti tak kunjung turun. Wah, gila, gara-gara hutan terus dirusak nih, saya jadi kekeringan begini. Ucap saya pada teman waktu itu.

Mungkin ada saja yang nyeletuk, apa sih hubungan hutan sama kekeringan yang terjadi?

Jadi begini. Seperti yang sudah kita bahas di atas tadi. Pohon yang ada di hutan itu berfungsi menyerap air hujan. Pohon kemudian melepaskan uap air ke udara sebagai cikal bakal hujan. Semakin banyak pohon, semakin banyak juga uap air yang dilepas, semakin tinggi potensi hujan. Nah, jika hutan gundul, pohon tak ada, tentu saja akan berpengaruh banyak pada intensitas hujan, bukan?

Hutan gundul juga akan mempengaruhi cadangan air tanah. Selama ini fungsi hutan tak ubahnya bagai bank air. Setiap musim hujan tiba, hutanlah menyimpan air sebagai cadangan untuk kebutuhan kita semua. Hutanlah yang melindungi kita dari kekeringan.

Peralatan Tradisional Pemadam Api

 

Solusinya?

Kita telah sedemikian rupa menyakiti ibu yang telah menghidupi kita. Belum terlalu terlambat untuk memperbaiki ini semua. Mulai bergerak dari diri masing-masing. Bagi saya, mengurangi hasrat konsumtif adalah salah satu cara. Contoh nyatanya, saya meminimalisir penggunaan perabotan kayu. Mungkin ada yang guyon, kalau kayunya dari hutan produksi atau komersil mah gak masalah. Iya, tapi bagi saya memakai seperlunya tetaplah pilihan paling bijak. Sebab sebatang pohon tak bisa tumbuh dalam sehari dua hari.

Bagi saya mengurangi pemakaian kertas juga bagian dari usaha menjaga hutan. Termasuk penggunaan produk hilir yang berbahan baku sawit seperti produk makanan dan lainnya itu. Atau meminimalisir kebutuhan akan produk hilir dari tanaman karet juga merupakan solusi. Usaha kecil memang, tapi jika semua kita melakukan tentu akan berdampak besar.

Tak hanya itu, maraknya perburuan liar hewan langka juga dipengaruhi oleh pola komsumtif kita. Jika tak ada keinginan menggunakan kulit si belang, gading gajah atau cula badak, tentu tak akan tergiur pula para pemasoknya menawarkan barang. Dan bagi pembuat regulasi penggunaan lahan hutan, semoga kedepannya makin mempertimbangkan kelangsungan hutan kita sebagai paru-paru dunia.

Ada satu nilai yang teringat-ingat oleh saya dari penghuni hutan sana. Bagi mereka, jika mengambil satu batang pohon maka mereka wajib menanam dua atau tiga pohon baru sebagai gantinya. Dan menurut saya, tak ada salahnya kita menirunya. Mari mulai menaman pohon di sekitar rumah kita. Tak ada lahan bisa pakai pot bunga atau cara asik lainnya. Karena mempertahankan udara tetap bersih adalah tanggung jawab masing-masing kita.

 

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di Sini
#PerubahanIklimKBR
#HutandanUdara

Sumber data: http://www.beritagar.com dan http://www.wwf.id
Gambar: Pinterest

2 respons untuk ‘Hutan dan Udaraku

Tinggalkan komentar