Karakter diri dan kondisi tubuh
“Takut ah, bos lagi bermuka masam!”
“Kamu aja yang menghadap, Bu guru mukanya garang banget!”
“Ihhh, itu orang kok muka badak banget ya?! Ga menenggang sama sekali.”
“Raut wajahnya selalu haru, lemes kayak belum makan sebulan aja.”
“Doi orangnya kaku abis. No expretion githu!”
“Dia ceria selalu orangnya. Lagi sedih tetap aja mukanya senyum.”
Sering kita dengar bukan? atau malah kitalah yang sering berujar seperti hal diatas. Dalam kehidupan sosial, kita lebih cendrung menilai seseorang dari ekspresi tubuh ketimbang ungkapan verbalnya. Bahkan dalam teori komunikasipun terdapat kesimpulan manusia lebih banyak terlibat dalam komunikasi nonverbal ketimbang verbal. Terlibat dalam bahasa yang tak terkatakan namun dapat menangkap maksud satu sama lain. Lalu kira kira apa ya hulu dari semua hasil pencitraan bahasa tubuh tersebut, adakah kaitannya dengan kondisi tubuh manusia bersangkutan? Yuk lanjut membacanya!
Banyak pertikaian terjadi disebabkan adanya salah persepsi membaca rasa pada muka. Kenapa rasa? Karena piranti ‘rasa’ inilah yang paling sensitif menerima berita dari luar diri kita. Lalu apa hubungannya antara karakter manusia dengan rasa muka atau yang lazim disebut air muka? Adakah kaitannya dengan kondisi kesehatan seseorang?
Bahasan ilmu karakter tentunya akan butuh ruang tersendiri. Begitu juga dengan keilmuan komunikasi. Disini kita coba mengupas dan mencari penjelasan hubungan antara karakter tampilan (air muka) yang berubah ubah dengan analisa kondisi tubuh.
Anda tentu pernah mendengar ungkapan, baik buruk manusia ditentukan oleh segumpal daging dalam tubuhnya. Segumpal daging itu adalah hati. Dalam hal ini hati yang dimaksudkan adalah hati dalam artian sebenarnya, bersifat fisik. Hati dalam fungsinya sebagai organ tubuh diibaratkan terminal yang akan mengangkut sari makanan keseluruh bagian tubuh manusia. Alat pengangkutnya adalah saluran darah. Dihati darah akan disortir terlebih dahulu. Disaring, dibuang zat zat tak bergunanya. Lalu siap diedarkan kesaluran. Organ organ akan menerima jatah makannya dari hasil saringan ini. Kelangsungan hidupnya ditentukan oleh baik buruk kualitas makanan yang diterimanya dari darah. Nah, bisa anda bayangkan jika yang menjadi darah adalah hasil metabolisme dari makanan berpengawet, makanan cepat saji atau junkfood, penyedap rasa, makanan terkontaminasi logam, makanan tinggi kolestrol jahat, minuman berkadar sakarin tinggi, alkohol, serta minuman dan makanan “tak bagus” lainnya. Racun racun dari makanan ini akan mengendap dalam darah. Tertinggal diorgan organ penting tubuh.
Bayangkan darah yang mengandung toksin atau racun tersebut tertinggal diotak kita. Tentu akumulasi waktu akan berperan memberi resiko terburuk pada otak kita suatu saat nanti. Mengetahui dampak sedemikian fatal tentu kita berkewajiban mengelola tubuh ini sebijak mungkin. Sudah sangat wajib bagi kita untuk peduli pada himbauan back to nature. kembali ke alam. Bukankah tiap inci tubuh kita ini adalah bagian dari alam? Jutaan tahun silam manusia tercipta dari segumpal tanah bukan? Dan akan kembali menyatu dengan tanah saat masanya tiba.
Lalu apa hubungan semua itu dengan karakter? Tentu sangat erat kaitannya. Hampir semua hal di dunia ini memiliki sifat berpasangan. Dalam keberpasangan itu terdapat titik seimbang. Begitu juga tubuh kita ini. Kesimbangan pH cairan tubuh, termasuk darah, sangat menentukan kualitas hidup. Kesimbangan keasaman dan kebasaan tubuh. Kita lihat cuplikan dialog berikut,
“Kalian tak becus, masak nulis laporan segampang ini masih ada salah ketiknya juga! Ditaruh dimana otak kalian?!” kata kata pedas seorang bos kepada bawahannya.
Padahal kesalahan yang dilakukan si anak buah bukan kesalahan fatal. Masih tergolong ecek ecek. Namun amarah sang bos begitu bergejolak, membuat bulu kuduk sang anak buah merinding. Sudah jadi rahasia umum jika si bos terkenal pemarah dan sering bermuka masam di kantor. Saat marah mukanya memerah. Nafasnya naik turun. Jantungnya seakan hendak loncat keluar. Matanya melotot. Lalu peristiwa kimiawi apa yang sebenarnya terjadi?
“Kamu ini bandel sekali. Sudah berapa kali Mama bilang, jangan numpahin air di lantai!” seorang Ibu memarahi anaknya yang masih kecil.
Jika dianalisa tentu bukan maksud bersengaja bagi si anak menumpahkan air di lantai. Bukan kesalahan fatal. Namun amarah si ibu meledak bagai gunung merapi meluahkan magma panas ditelinga dan batin si anak.
Kejadian manusia bermuka masam bisa kita lihat diberbagai tempat. Baik itu di pasar, kampus, kantor, sekolahan, rumah ibadah, atau bahkan lingkungan terkecil kita. Taukah kita aksi reaksi yang sedang terjadi pada tubuh saat kita bermuka masam? Jawabannya tak jauh jauh dari kata masam itu sendiri. Tubuh sedang dalam keadaan asam. Tubuh sedang tidak berada dalam titik terbaiknya, titik kesimbangan. Cairan tubuh dalam kadar pH asam. Darahnya asam. Hati sebagai pusat kendali juga dalam keadaan asam. Maka otomatis air muka yang jadi cerminan hati juga ikut masam.
Kondisi tubuh yang asam adalah magnet yang sangat menarik bagi bersarangnya penyakit. Kuman, bakteri, virus, sangat nyaman meninggali tubuh yang asam. Mereka akan sangat mudah berkembang beranak pinak. Menyerang organ organ terlemah manusia yang ditinggalinya.
Berita buruknya sistem kekebalan yang berperan sebagai tentara tubuh ikut terlemahkan oleh racun racun tersebut. Imunitas yang lemah akan mudah dikalahkan musuh dari luar, oleh kuman, virus, bakteri jahat. Maka tak heran dalam sekian akumulasi waktu akan terjadi pelemahan organ. Bahkan bisa terjadi sel imun menyerang sel imun sendiri. Terjadi tumor, kanker, masalah jantung, diabetes, dan berbagai penyakit ‘elit’ lainnya yang disebabkan runtuhnya alat pertahanan tubuh.
Tubuh yang dalam keadaan tak seimbang mudah memicu perubahan emosi. Jiwa menjadi tak stabil. Emosi negatif gampang meledak. Mudah murung, bersedih, berputus asa, rendah motivasi, minder, berpikiran negatif, malas, tak punya semangat, sakit sakitan, dan berbagai kelemahan lainnya.
Salah satu kebiasaan manusia adalah megeneralisasi. Memberi penilaian pada apa yang paling sering ditampilkan. Jika seseorang lebih sering marah, maka sifat sebagai pemarah akan melekat sebagai citra diri baginya. Pun sebaliknya, seseorang yang lebih sering ramah maka penilaian ramah dari lingkungan akan menjadi citra dirinya. Kebiasaan yang diulang ulang akan menjadi karakter diri. Menjadi label atau identitas diri. Tentunya bukan karakter negatif seperti itu yang kita inginkan ada pada diri kita bukan?!
Dengan mengetahui sebab akibat ini tentu kewajiban memaklumi dan dimaklumi ada sepenuhnya ditangan kita. Memaklumi bahwa karakter negatif yang sedang ditunjukkannya adalah sebuah akibat dari reaksi tubuh. Dimaklumi bahwa karakter yang sedang diperlihatkan adalah reaksi dari ketidak seimbangan tubuh kita. Sebagai makhluk sosial dan berpengatahuan maka hubungan saling membantu dan harmonis akan terjadi.
Alangkah bijaknya jika bisa membantu sesama. Saat tau kondisi kesehatan seseorang dari tampilan sikapnya, kita bisa mengusulkan treatmen tertentu sebagai solusi untuknya. Paling tidak kita bisa memaklumi sikapnya terhadap kita. Takkan ada yang terluka jika bisa seperti ini. Akan lebih bijak memulai hari dengan segelas air putih saat bangun pagi. Konsumsi buah dan sayuran lebih dominan ketimbang makanan lainnya. Rutin berolah raga minimal dua kali seminggu yang disesuaikan dengan umur. Mengurangi asupan bahan bahan kimia kedalam tubuh. Berbekam sesuai kebutuhan dan mendekatkan diri pada Pencipta.
Dengan megetahui aksi reaksi yang sedang terjadi dalam tubuh kita seharusnya bisa lebih bijak lagi dalam bersikap. Menjaga hubungan harmonis dilingkungan sosial. Menanggapi perubahan sikap negatif seseorang sebagai sesuatu hal wajar. Sekaligus instropeksi tubuh dan karakter pribadi. Memulai hidup sehat dari diri sendiri. Memilih berkarakter baik dengan jalan peduli pada kondisi kesehatan tubuh. Karena kondisi tubuh mencerminkan karakter kepribadian.
Eci FE ^_^
Eci FE 