Tips; Menghadapi Gempa dan Ancaman Tsunami

gempa mentawai

gempa mentawai

Tips menghadapi gempa dan ancaman tsunami ini saya tulis berdasarkan pengalaman saya sendiri. Sumatra Barat terkenal sebagai daerah etalasenya bencana. Kenapa begitu? Sebab hampir semua jenis bencana pernah terjadi di daerah asal rendang ini. Sebut saja banjir bandang, longsor, gempa berpotensi tsunami, badai, kabut asap, dan lain sebagainya. Ya, di balik negri nan elok mempesona ini ada bahaya yang mengintai. Contohnya kali ini, monster megathrust di Mentawai. Bolak-balik ilmuan dunia meneliti dan menetapkan analisanya, bahwa dua lempeng bumi itu tinggal menanti hari ‘H’ saja. Tiap saat ia berpotensi menggoyang daratan Sumatra, bahkan membelah pulau Sumatra jadi dua. Bayangkan, ombaknya bisa menyapu daratan, tak hanya Sumbar tapi seluruh tepian pantai barat Sumatra.

Dan gempa besar itupun terjadi, di televisi dan media eleronik dikabarkan, terjadi gempa 8.3 SR yang kemudian diralat jadi 7.8 SR, berpotensi tsunami di Mentawai hari rabu kemaren. Menakutkan? Entahlah. Yang jelas kami yang tinggal di tepi pantai harus menghindar dari lautan karena berita boombastis itu. Berdesak-desakan di jalanan menuju jalur evakuasi. Padahal gempa yang kami rasakan sangat kecil dibanding gempa besar tahun 2007, 2009, 2012, lalu. Tapi demi mengingat visual tsunami yang dulu terjadi di Aceh, juga yang terjadi di Jepang, rasanya perintah evakuasi memang harus di dengarkan. Gak mau dong mati sia-sia karena keras kepala. -_-

Lantas apa pelajaran yang bisa diambil dari kejadian menghebohkan dunia ini? Yang pasti, bagi saya, kepekaan akan gempa bumi masih kuat. Gelar yang mereka sematkan ke saya sebagai detektor gempa masih berlangsung, dan itu menjengkelkan. Tiap kali ada gempa, baik itu saat terjaga atau tengah tidur lelap, saya hampir selalu merasakan. Kebetulan saat gempa kemaren itu, saya baru saja mau angkat tangan, takbir, salat Isya. Awalnya saya kira lagi pusing aja, tapi kok kayak ada suaranya, mengaum. Jadilah saya amati pintu yang terbuka, juga gorden yang tiba-tiba bergoyang. Benar, itu gempa. Saya langsung teriak ke penghuni rumah. Di luar, tetangga juga pada keluar. Karena dari dulu sudah tertanam di akal bawah sadar, kalau gempa saya pasti cari ponsel dan jilbab dulu sebelum keluar. Maka langsung saya raih ponsel dan kabur keluar dengan mukena lengkap. Eh, di luar hujan pun turun. Ingatan saat gempa 2009 kembali bercokol kuat di kepala. Waktu itu kami hujan-hujanan, kuyup, demi menjauhi lautan. Rumah yang hanya selemparan batu dari bibir laut harus ditinggalkan segera. Di jalan pemandangan amat mengerikan, selain aspal yang rengkah, rumah-rumah warga runtuh, roboh. Senja itu Sumbar seperti kota mati. Di pusat kota Padang sana, gedung-gedung bersujud menghimpit penghuni yang tak sempat keluar. Tangis dan pekik menyaingi derasnya hujan. Di daerah perbukitan, longsor menimbun pemukiman, tak kalah menyayat. Dan saya beserta iring-iringan lain menyaksikan reruntuhan tanpa reaksi, seolah belum sadar dari mimpi. Daerah yang kami tujupun sama parahnya. Bahkan pemuda setempat masih berjuang menyelamatkan korban yang terjepit runtuhan beton rumah. Banyak yang datang minta pertolongan, kebetulan saya ngungsi ke rumah seorang bidan, jauh dari lautan. Sang bidan sudah angkat tangan. Tak cukup obat-obatan. Bahkan untuk berteduh saja kami harus rela berhimpitan di tengah kelam dan basahnya malam. Berhamburan tiap kali terjadi gempa susulan. Saya dan keluarga saya lainnya terpencar. Komunikasi putus total. Kabar-kabar berseliweran makin mambuat takut akan kehilangan. Bagaimana tidak, mereka yang baru datang dari pusat kota Padang bilang, mayat-mayat berserakkan dimana-mana. Dan bayangan akan kematian sanak saudara, menari-nari di kelopak mata. Malam dan hujan yang menderas terasa begitu panjang. Tak sepicingpun mata bisa terpejam. Rasanya seperti mimpi saja. Gempa 2009 itu benar-benar tak terlupakan.

Dan pada gempa 2 Maret 2016 kemaren, itu ternyata bukan monster Megarthust. Si monster masih tertidur di bawah lautan Mentawai sana. Ketakutan itu belum berakhir. Pusat gempa ternyata ada di lautan luar Mentawai, gerakan sesar mendatar dan tidak berpotensi menimbulkan longsor bawah laut yang berakibat tsunami. Bersyukur? Tentu saja. Tak terbayang cemasnya warga kepulauan mentawai sana, berlari menuju perbukitan. Takut? Itu pasti. Jika sewaktu-waktu si monster megathrust terbangun, entah seperti apa dampak yang ia timbulkan. Lagi-lagi hanya pasrah pada Tuhan dan meminimalkan dampak. Untuk itu, dari pengalaman-pengalaman gempa sebelumnya, berikut tips menghadapi gempa dan ancaman tsunami dari saya :

A Kuasai diri dan ingat Tuhan.
Saat gempa, biasanya detak jantung menyaingi kencangnya gataran tanah. Jadi usahakan tetap kuasai diri sembari berdoa. Jangan panik!

B. Pelajari medan
Jika sedang di rumah, pastikan di kepala sudah tertanam jalur evakuasi. Sudah tahu kemana harus berlari saat terjadi gempa. Pastikan, jika keluar dari pintu depan (teras), tak ada beton atau bangunan yang berpotensi menghimpit. Jika tak sempat keluar rumah, pastikan ada tempat berlindung dalam ruangan, seperti meringkuk di bawah meja kuat. Jauhi perabotan yang bisa menimpa. Jangan lupa lindungi kepala saat berlari keluar.
Jika sedang di luar rumah, cari shelter atau bangunan yang sekiranya kokoh. Jauhi sungai.

C. Cari tahu skala, pusat gempa bumi, atau titik episentrumnya
Pengalaman saya, jika terjadi gempa, sebelum jaringan rusak/terganggu, saya akan cari tahu pusat dan kekuatan gempa. Jika pusatnya di lautan dan itu besar seperti gempa kemaren, maka bersiap-siaplah untuk evakuasi. Bukan langsung lari. Sebab untuk menentukan sebuah gempa besar berpotensi tsunami atau tidaknya, BMKG butuh waktu untuk mencari titik jelasnya dulu. Jadi sikap terbaiknya ialah waspada dan siap siaga. Jangan panik duluan, jika di televisi atau radio diumumkan gempa berpotensi tsunami. Analisa beritanya, ikuti perkembangan dari BMKG.

D. Siapkan tas evakuasi tiap saat
Sebagai warga berpotensi, warga yang tinggal di garis merah, siapkan satu tas ransel khusus. Isi sesuai keperluan. Seperti jaket, obat-obatan, senter, pakaian, alat mandi, surat penting, dan keperluan mendesak lainnya. Jadi jika terjadi gempa, kita tinggal raih tas dan langsung menuju jalur evakuasi.

E. Pastikan semua pintu terkunci
Keadaan panik saat terjadi gempa dan adanya perintah evakuasi kerap membuat warga hilang akal. Sering kejadian rumah kemalingan karena lupa mengunci pintu rumah. Jadi sebelum meninggalkan rumah, pastikan rumah sudah dikunci. Berhati-hati juga bagian dari sikap pasrah.

F. Siapkan konsumsi
Dari pengalaman saya mengungsi pada tahun 2009 lalu, sulit sekali mendapatkan makanan ketika itu. Saat terjadi bencana, tak ada orang yang berjualan. Masing -masing sibuk dengan diri sendiri. Saya baru bisa makan pada esok harinya setelah bergerilya sana sini, itupun harus dibagi-bagi dengan yang lain. Jadi begitu gempa berhenti, coba deh rasa-rasakan, pakai feeling, aman tidak untuk masuk ke rumah. Jika aman, segera ambil kotak nasi atau makanan apapun yang ada di dapur. Jangan lupa bawa botol minuman juga. Bawa juga stok obat-obatan jika ada.
Sebagai warga garis merah, hal ini jadi pelajaran berharga bagi saya pribadi untuk selalu bersiaga dengan perut terisi tiap saat. Jangan menunda-nunda lapar. Sebab kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian.

G. Evakuasi dengan kendaraan roda dua atau jalan kaki
Kenapa harus kendaraan roda dua dan jalan kaki? Dari pengalaman beberapa kali evakuasi, warga yang mengevakuasi diri dengan kendaraan roda empat rentan terjebak macet. Evakuasi dengan mobil memang lebih nyaman dan bisa mengangkut banyak orang/barang, tapi jika sudah menumpuk di jalanan sempit, ini malah akan memperlambat proses evakuasi. Jika benar kejadian tsunami, kemungkinan korban terbanyak ada di jalanan.
Dan jalan kaki, selain bebas bergerak, juga bisa lari kencang. Saya pernah berlari belasan kilometer dengan tenaga penggerak ‘takut akan tsunami’ beberapa tahun lalu. Normalnya saya tak mungkin sanggup berlari sekencang dan secepat itu. Namun panik dan takut kenyataannya bisa menimbulkan kekuatan terpendam dalam diri saya. Pegalnya baru terasa ketika keadaan sudah kembali normal.

H. Tidak egois
Utamakan kepentingan bersama. Baik itu ketika berada di jalanan, di pengungsian, shelter, atau di dapur umum. Hidup di tenda pengungsian mengajarkan saya arti berbagi. Meski sedikit dan sangat butuh, tapi ketika harus berbagi, kebutuhan yang besar itu jadi tertutupi. Bantulah penduduk bumi, maka warga langit akan turun tangan mengurusmu.

I. Ikut simulasi bencana
Negri kita rawan sekali gempa bumi. Sejarah mencatat sering terjadi ombak besar yang menyapu penduduk di beberapa daerah. Itu artinya harus ada upaya sosialisasi lebih intens lagi. Kita perlu belajar dari Jepang yang tiap saat dihoyak gempa dan tsunami. Dengan ikut simulasi tsunami akan sangat membantu saat bencana ini terjadi.
Dan pada hakikatnya semua bencana yang menimpa adalah pelajaran yang baru dikemudian hari ktia ketahui hikmahnya. Semoga tak ada lagi bencana di negri ini.
Semoga tips singkat ini bermanfaat. ^_^

Satu respons untuk “Tips; Menghadapi Gempa dan Ancaman Tsunami

Tinggalkan komentar