Masih hangat, media ramai membicarakan eksekusi mati para bandar besar narkoba. Freddy Budiman, namanya mencuat, terlebih setelah pengakuannya terkait terlibatnya oknum aparat dalam bisnis haram ini. Setelah eksekusi mati dijalankan, bertebaranlah artikel di media sosial, betapa dasyatnya taubat seorang bandar besar. Lafaz takbir ia ucapkan di akhir nafasnya. Qatam Quran beberapa kali ia tunaikan. Penampilan diubah. Ibadah terlaksana. Lalu beramai-ramailah jamaah fesbukiyah dan medsos lainnya membagikan, memuji betapa dasyatnya tobat seorang hamba.
Di sisi lain, pejuang hak azazi berupaya meringankan hukuman mati perempuan pengedar yang katanya hanya korban. Berbagai pertimbangan meringankan dicuatkan ke permukaan, demi batalnya hukuman ‘door.’
Jauh, di sudut-sudut rumah, para orangtua ketar-ketir akan masa depan buah hati. Sekolah terbengkalai. Masa depan buram. Tubuh, otak anaknya mulai ketagihan. Harus dapat ‘barang’ jika tak ingin sakau lalu mati pelan-pelan. Berbagai hal diupayakan agar barang haram itu didapatkan. Memakai uang saku yang harusnya dipakai untuk biaya makan serta pendidikan. Meminjam pada teman. Mencuri diam-diam. Lalu makin hari kebutuhan akan ‘barang’ pun meningkat. Apapun caranya, barang mesti didapatkan. Tak peduli jika harus melukai orang. Lalu datanglah kawan menawarkan, cemen kalau masih belum cobain yang ini, tawarnya memanas-manasi. Dirinya pun tergiur mencobakan. Efek itu pun kembali didapatkan, bahkan lebih tinggi lagi kenikmatannya. Melayang-layang, seakan keindahan surga sudah didapatnya. Tertawalah produsen barang haram. Pasarku makin meluas, uangku makin banyak, pikir mereka senang. Lantas beralih peranlah si pemakai, dari yang sebelumnya hanya konsumen biasa, demi kebutuhan, naiklah ‘derajad’ jadi pengedar.
Soal gembar-gembor dasyatnya efek taubatan nasuha bandar besar itu, ada yang mengganjal di hati dan pikir saya. Saya penasaran, apa yang dipikirkan ukhty wa ikwahfillah ketika membagikan artikel yang bertebaran itu? Rasa banggakah, kagumkah, tabjukkah? Pada apa dan siapa? Pada insan tersalah yang menemukan Tuhan di akhir hayatnya?
Sebentar, mungkin ada yang salah dengan cara pikir saya. Mungkin hati ini sudah mengeras sekeras batu hingga tak bisa merasakan kekaguman atau rasa yang sama. Terserah kalian mau menilai apa. Yang jelas, menurut saya, seseorang yang sudah tahu waktu kematiannya datang, kesadarannya sebagai manusia akan muncul. Jiwanya gamang. Nalurinya sebagai manusia akan otomatis mencari sandaran. Sekeras apapun insan melawan keberadaan Tuhan, di satu titik tertentu dalam hidupnya, ia akan tetap mencari. Kepasrahan. Kepasrahan menggerakkannya pada jalan Tuhan. Entah apapun agama atau kepercayaannya. Dan bagi saya ini hal yang wajar. Manusiawi.
Menurut saya, tak perlulah ‘memuja-muja’ sebesar itu. Sudah lupakah pada apa yang telah dikerjakannya selama ini? Sudah lupakah pada korban-korban yang meregang nyawa karena barang haram yang mereka tebarkan? Tak pedulikah pada angka-angka, statistik korban narkoba yang tiap hari makin menanjak itu?
Atau jangan-jangan karena ‘outfit’ agamis yang tiba-tiba ada padanya? Perubahan simbol yang ia kenakan itukah yang membuat kagum? Entahlah. Taubatnya Freddy itu memang hal baik dan wajar. Siapa coba yang gak bakal mati-matian beribadah saat tau nyawanya diujung tanduk. Bahkan tanggal dan hari kematiannya pun sudah ia ketahui. Ini bukan berarti saya tidak bersimpati pada beliau dan keluarga yang mengasihinya. Keluarga sudah pasti sangat sedih kehilangan sosok beliau. Dengar-dengar, beliau dikenal baik pada warga kampungnya. Ya bagus dong, ya. Tapi lain lagi konteksnya.
Simbol memang memaparkan banyak hal. Ada yang muncul karena sengaja dilekatkan pada dirinya. Ada juga yang muncul secara alami dari dalam dirinya.
Lalu soal teka-teka yang ia tinggalkan, seakan menegaskan. Selalu ada oknum yang ikut bermain, membekingini bisnis hitam. Shadow economic, saya teringat pada cengkramannya. Tapi ya sudahlah, ya, biarkan para pakar hukum, aparat berwenang, yang menuntaskan. Bicara hukum berarti bicara soal kesadaran. Jika kesadaran akan baik dan buruk itu tak ada, hukum tak ubahnya transaksi jual beli saja.
Beberapa tahun silam, anaknya teman bapak saya meregang nyawa karena barang haram ini. Ia tumpuan harapan orangtuanya. Kuliah di kampus ternama di Depok sana, oragntua tak bisa mengontrol pergaulannya karena jauhnya jarak. Kebutuhan hidup selalu dipenuhi orang tua. Namun yang datang kemudian malah berita kematian. Sang anak sakau karena kehabisan barang haram itu. Orangtua yang mulai renta bukan main sedihnya. Malu pada sesama. Hancur hatinya. Harapan mereka patah. Anak lelaki satu-satunya mati sudah. Tak lama, sulung mereka, perempuan pengidap down syndrom pun menyusul sang adik. Tak terbayang betapa besarnya kadar sedih yang mereka tanggungkan. Namun begitulah hidup ini, banyak cerita, banyak kisah.
Beberapa tahun silam, saya sempat bersinggungan dengan kasus ini. Saya ada di waktu dan tempat tidak tepat. Terpanggil sebagai saksi penggeledahan di sebuah rumah. Saya akhirnya ‘di undang’ hadir ke salah satu ruang di kantor Polda sana. Status sebagai mahasiswa tingkat akhir waktu itu memberati pundak saya. Saat itu pembimbing satu dan dua tak sepaham akan tulisan saya. Singkatnya, jika saya ikuti saran pembimbing A, yang B tidak setuju. Sebaliknya, jika saya ikuti saran B, maka pembimbing A mengancam mundur. Mereka sama kerasnya. Sementara skripsi sudah terlampau jauh untuk dimulai lagi dari awal dengan pembimbing baru. Buah simalakama itu pahit sekali. Sebulan saya uring-uringan di kos-kosan. Pagi siang malam gila-gilaan nonton drama korea. Rental dvd jadi tempat favorit. Novel-novel tetangga kamar jadi incaran. Pulang ke rumah orangtua jadi siksaan, takut ditanyai perkembangan skripsi.
Tuhan bijak sekali mengatur waktu. Sebulan rehat dari skripsi diisi dengan latihan ‘uji mental.’ Di balik meja, seorang polwan dan rekannya menanyai saya satu setengah jam penuh. Duh, lelah sekali menjawab pertanyaan itu ke itu saja itu. Pertanyaan beranak pinak mesti saya jawab dengan konsentrasi penuh. Terlebih image horor kepolisian keburu melekat pada saya. Jangan-jangan status sebagai saksi bisa berubah jadi tersangka. Duh, jangan-jangan nama baik saya bakal di bleklis. Saya bakal kesulitan mengurus surat keterangan berkelakuan baik. Kalau keluarga saya tahu, mereka pasti kuatir. Banyak pikiran buruk menghantui saat itu. Tapi untungnya saya punya teman-teman yang baik. Mereka kasih dukungan penuh. Dan polisi yang mengintrogasi saya cair banget. Di momen-momen tertentu malah saya yang balik nanyain dia. Lucunya, saksi lain, (uni ipar), cuma ditanyai sekali lalu, setengah jam saja. Huff, tak adil. Apa mungkin, itu karena tampang ‘anak baik-baik’ pada saya kurang meyakinkan? Entahlah! 😉
Acara belum berakhir sampai di sini. Saya masih harus hadir di persidangan. Beuh, rasanya ini bahu mau rontok saja. Apa yang saya baca di bap mesti saya hafal dan ulang di ruang sidang nanti. Untungnya gak harus menghafal pasal setebal bantal. Secara saya buta sekali dengan dunia peradilan (hukum). Jangan sampai saya salah sebut nama barang. Belum lagi keluarga tersangka yang minta diringankan. Mak, kenapa pula saya harus nongol di ‘acara’ penggeledahan itu. Saya pun disumpah, lalu duduk menghadap pak Hakim. Ditontoni banyak orang. Diperlihatkan barang bukti. Selama sidang, pak Hakim beberapa kali ngomelin (bentak) saya. Untungnya kumisnya gak tebal, mata gak membelalak kayak tuan takur sing. Katanya saya hanya perlu jawab iya atau tidak saja. Sementara saya gak puas tanpa menjelaskan panjang lebar. Iya dan tidak itu terlalu sempit, kaku, dan saya takut banget masuk neraka gara-gara bohong. Hehe.. Lugu, ya?
Kemudian baru saya faham. Jika gak dihadapkan pada kasus ini, mungkin saya akan anggap kasus narkoba itu kasus biasa saja. Saya gak bakalan tau baunya ganja kering, sabu, biji ganja bentuknya gimana, linting ganja yang kayak rokok itu, dan tumpukkan barang haram lainnya yang dikasih lihat ke saya waktu itu. Gak bakal faham pola pertanyaan introgasi itu seberbelit-belit itu. Gak bakal tau rasanya duduk di ruang sidang, ditanyai hakim.
Uni polwan dan uda polisi itu ada benarnya, anggap saja ini uji nyali sebelum sidang kompre, katanya bercanda saat itu.
Waktu berlalu. Tak lama setelahnya saya memberanikan diri datang ke kampus. Saya gak ikutin saran ke dua pembimbing. Saya ambil jalan tengah, ikut kata hati saja. Masa bodo apapun hasilnya. Ajaib, persoalan pun tuntas sudah. Dan benar saja, hawa ruang kompre jadi berasa ‘bersahabat.’ saya lulus. Dari catatan saya, tidur paling pulas itu tidur saya setelah kompre. Nyenyaknya luar biasa. Mungkin ini juga diamini teman senasib, yang harus memotong rambut sepinggangnya hingga sebahu gara-gara gak sisiran berminggu-minggu. Stres dibebani syarat kelulusan itu
Kembali ke kasus narkoba di atas. Saya gak faham sistem hukum yang diterapkan di Indonesia. Saya malas membanding-bandingkan dengan negara di luar sana yang langsung dooor! para pengedar (distributor). Yang perlu digarisbawahi, jangan sepelekan kasus narkoba. Narkoba itu berbahaya. Masa pemulihannya lama. Narkoba itu merusak otak, badan, masa depan. Akan bertambah panjang kisah pilu pengguna narkoba jika kita masih menganggapnya enteng. Mungkin terdengar tegaaan, menurut saya, hukuman berat memang pantas bagi para pengedar mengingat banyak sekali korban bergelimpangan karenanya. Entah itu dengan dooor! Atau hukuman lainnya, tergantung format hukum yang diterapkan negara. Harapan saya, semoga kita semua dijauhkan dari narkoba, baik sebagai pemakai maupun sebagai distrubutor. Jika pun terlanjur makai, segeralah minta bantuan. Selalu ada jalan. Bisnis ini memang menggiurkan, namun berbanding lurus dengan resiko besarnya.
Sedikit cuap-cuap saya, semoga ada manfaatnya. 🙂
.
Eci FE 