Jika Naskah Ditolak Penerbit

Menerbitkan karya berupa buku itu dambaan setiap penulis. Setelah kerja keras menyelesaikan naskah, lalu karya dikirim ke penerbit dengan hati berbunga-bunga penuh harapan baik. Namun ternyata naskahnya ditolak penerbit. Huuhhh pasti rasanya sakit banget, kan? Samalah kayak sakit patah hati, yeay or nay? *.*

Seorang teman mengaku putus asa setelah karya pertamanya ditolak penerbit. Padahal ia sudah menulis dengan susah payah, menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu saja menguras pikiran. Semangatnya menggebu ketika menawarkan sang anak keratif ke penerbit. Namun setelah menunggu sekian lama, jawaban yang ia terima malah membuatnya putus asa. Naskahnya ditolak penerbit dengan catatan koreksian sana sini. Ia patah semangat dan memutuskan tak akan menulis lagi.

Kamu pernah merasakan hal yang sama? Hm, setahu saya rata-rata penulis yang karyanya berjejer di toko buku itu juga pernah merasakan ini, ditolak penerbit. Jadi gak cuma kamu yang pernah merasakan penderitaan ini.*tsahh..* Malahan pernulis karya-karya besar yang terkenal tingkat dunia itu pun pernah merasakan tertolak. Ada yang sampai puluhan kali malah. Kamu bisa cek penulis-penulis hebat di negri ini, mereka juga sama, kok. Hanya saja mereka tak berhenti mencoba.

Saran saya sih, walau saya masih anyir di dunia literasi ini, jika satu pintu tertutup, cobalah mengetuk pintu yang lain. Ini sebenarnya juga nasehat buat diri pribadi. Lalu, coba deh endapkan dulu sampai hati dan pikiran bebas dari rasa putus asa. Lalu bertekadlah mengedit naskah itu kembali dengan kaca mata yang lebih objektif. Pakailah kaca mata sebagai pembaca atau orang lain. Kenapa harus begitu? Karena bagi seorang ibu anaknya adalah yang terbaik di seluruh dunia, tampa cela.

Naskah yang ditolak penerbit dengan catatan koreksian lebih beruntung ketimbang naskah yang tak berkabar. Ya, bisa jadi naskahnya nyasar ke tong sampah begitu sampai di meja redaksi. Memang ada githu naskah gak berkabar? Ada. Saya pernah merasakannya sekitar tahun dua ribu dua belas lalu. Setelah menunggu sekian bulan, lalu saya berinisiatif menghubungi. Namun sayang, saya malah dioper sana sini kayak bola.

Jadi saya putuskan menariknya dari penerbit besar tersebut. Sakit hati? Iya. Saya merasa kerja keras saya tak dihargai. Namun itu tak membuat saya berhenti (tampa sadar). Hingga akhirnya karya saya diterbitkan. Dan kini, setelah saya baca lagi naskah itu, keputusan penerbit membuangnya ke tong sampah memang benar, kok. Jadi, mari berbaik sangka pada takdir baik atau pun buruk.

Nah, naskahmu yang penuh koreksian seperti coretan dosen pembimbing itu beruntung sekali sempat singgah di tangan editor. Itu artinya naskahmu lumayan menarik perhatian mereka. Hanya saja masih ada kekurangan yang tak bisa ditolerir. Bisa jadi jika pun diterima, kamu harus kerja keras memperbaikinya. Dan itu gak gampang, samalah seperti habis bangun rumah, trus kamu kudu bongkar lagi dan bangun lagi rumah di pondasi yang sama. Berat, lho, biar Dilan aja! *ehh..*

Jadi, cobalah berpikir positif. Karena ini salah satu bagian dari proses tumbuh kembangnya seorang penulis. Latihan bersabar. Saya juga sedang belajar melewati fase ini. *jiaaa…sokbijak kali nih saia hihi* walau sampai detik ini saya gak pernah pede mengaku diri sebagai penulis.

Hal teknis yang perlu diperhatikan;

Nah, selain hal di atas, ada hal teknis yang sekiranya wajib diperhatikan sebelum mengirim tulisan ke penerbit, seperti;
– tema naskah cocok gak sama kecendrungan penerbit yang kamu tuju. Jangan kirim naskah anak-anak ke penerbit yang menerbitkan buku-buku wacana.
– pastikan semua persyaratannya lengkap dan sesuai. Misal, penerbit anu mensyaratkan jenis tulisan TNR spasi 1,5 dengan jumlah halaman maksimal 200. Nah, syarat ini harus dipatuhi. Lebih empat atau lima halaman gak masalah lah ya.
– sertakan surat pengantar penerbit. Ibarat mau minta izin masuk ke rumah orang, surat pengantar adalah proses ketuk pintu. Gimana menulisnya bisa dicari di google. Banyak kok contohnya.
– sertakan juga bioadata penulis. Dari biodata penerbit akan punya pertimbangan tertentu terhadap naskahmu.
– jaga attitude. Jika mengirim naskah lewat email, jangan hanya mengirim email kosong berisi lampiran naskah saja. Perkenalkan dulu dirimu sekilas. Kamu sedang minta pertimbangan mereka untuk menerima naskahmu, jadi pertahankan sopan santun ketimuran kita.
– tunggulah hingga batas waktu yang ditentukan. Jangan meneror penerbit dengan pertanyaan kapan naskahmu diberi keputusan. Sabar. Biasanya penerbit memberi tenggat waktu paling cepat tiga bulan, atau enam bulan. Dan jika sudah lebih dari batas waktu itu, kamu bisa bertanya.
– pastikan naskahmu jualable alias memiliki nilai jual. Sebab penerbit gak akan mau melontarkan dana sedemikian besar untuk buku yang tak bisa dijual. Dan perlu diingat, jangan sesekali bertanya soal royalti saat mengirim naskah. Jika naskah di-acc, mereka akan mengirim MoU atau perjanjian kontrak. Di sana semua dijelaskan, kok, berapa royalti yang akan kamu terima.
– kepo-i media sosial penerbit. Biasanya jika butuh naskah baru mereka akan membagikan informasi di laman web atau medsos mereka.

Nah, setelah memastikan semua hal teknis di atas dilakukan dengan baik, tapi naskah tetap ditolak penerbit, satu satunya solusi hanyalah berbaik sangka. Mungkin naskahnya belum berjodoh dengan penerbit tersebut. Tetap semangat memperbaiki naskah. Lalu kirim lagi ke penerbit lain.

Sekian tips sederhana dari saya mengenai naskah yang ditolak penerbit. Semoga membantu dan bermanfaat bagi kita semua.

 

Tinggalkan komentar