Dear, Ivonia

resize2.jpg

dear, Ivonia,

Apa kabar? Semoga Ivo selalu berada dalam lindungan Allah swt.
Aku menelponmu berkali-kali. Aku ingin mengetahui keadaanmu. Namun ibumu bilang, kau tak punya keberanian mengangkat telpon selain dari keluarga intimu saja. Meski sulit sekali bagiku mencerna kenyataan ini, tapi aku mencoba paham. Kau bukannya tak bisa mendengar suaraku di telpon, kau hanya kurang percaya diri melakukannya. Begitu, kan, Ivo? Lain kali kita akan berlatih melakukan ini, ya? Aku ingin sekali kita berbincang lewat telepon.

Ivo, terus terang, aku merasa bersalah sekali padamu. Gara-gara ingin menemuiku kau harus mengalami hal buruk. Kupikir dengan alat bantu dengar yang kau pakai semua akan berjalan normal-normal saja. Ternyata aku salah. Klakson mobil dan kebisingan orang-orang di terminal bagai suara toa rusak di telingamu. Semua suara-suara itu berebut masuk bagai lengkingan serentak yang bikin kepalamu pusing. Kau dibuat panik olehnya hingga tak sadar sudah berada di tengah jalan raya dan tertabrak. Maafkan aku, Ivo.

Ivo, aku termenung lama mencerna ucapanmu. Kau tanyakan, jika yang gratis itu harus dibayar, berapa aku sanggup membayarnya? Sekarang kujawab tanyamu. Walau seluruh isi bumi ini digadaikan, itu takkan cukup untuk ditukar dengan sebuah pendengaran “asli”. Kau benar, Ivo. Tak ada yang bisa menyamai nikmat pendengaran gratis dari Tuhan ini. Meski dengan alat bantu dengar canggih puluhan juta itu sekalipun. Sekarang aku paham, dan berjanji akan jadi telinga bagimu.

Kau tahu? Seminggu ini aku diserang flu, batuk. Penciumanku terganggu. Kondisi ini membuatku repot. Makanan kutelan rasanya hambar semua. Terbayang, kan, betapa kalutnya aku si tukang makan ini? Aktivitas makan hanya demi menegakkan tulang punggungku saja. Hidup rasanya tak nikmat lagi.

Dan, kini, aku akhirnya bisa memahami dunia sunyimu. Kau hanya bisa mendengar suara-suara berfrekuensi besar saja. Kau bilang, kau rindu sekali mendengar suara adzan subuh semerdu saat kau kecil dulu. Kau rindu mendengar tawa riuh anak-anak kecil berlarian. Sayang suara itu tak ‘kan pernah lagi kembali sejak obat-obatan merenggut pendengaranmu. Suara-suara yang kau rindukan itu telah lenyap, hilang selamanya terbawa angin. Namun aku yakin, kau bisa mendengarnya lagi dengan telinga hatimu.

Kau memang kehilangan pendengaran telinga, tetapi pendengaran hatimu berfungsi sangat baik, Ivo. Kau rela memberikan nasi bungkusmu ketika bertemu nenek tua di jalanan. Padahal tak sepatah kata pun ia mengaku sedang kelaparan. Kau lakukan itu karena telinga hatimu-lah yang mendengar gemuruh dari perut cekungnya. Ivo, kau punya telinga hati yang tajam. Di mataku kau adalah manusia normal, melebihi kenormalanku sendiri.

Oh, ya, Ivo, aku janji. Setelah kau pulih, aku ingin mengajakmu nonton di bioskop. Kita nonton film dalam negri seperti yang kau rindukan itu. Aku janji akan menjelaskan jalan ceritanya padamu walau tak ada subtitlenya.

Satu lagi, Ivo, melalui surat ini aku ingin memberimu selamat atas kafe yang akan kau buka. Kau memang jagonya masak. Aku yakin kafemu akan sukses. Idemu merektrut pekerja dari teman-teman difabel sungguh luar biasa. Kau perempuan hebat, ivo. Aku yakin, ide ini akan menginspirasi banyak orang. Dan aku akan jadi tamu tetap di kafemu kelak.
Sekian dulu dariku, salam hangat untuk keluarga di sana.

Sahabat penamu,

 

Even Asian Paragames kali ini mengingatkanku pada naskah ini. Ini naskah gagal menang yang pernah kuikutkan lomba. dan tentu saja aku tak menyesal untuk itu. Selama riset untuk surat kecil ini, aku dibawa mengintip dunia saudara difabel yang selama ini kelam bagiku. Apa reaksiku ketika itu? Takjub. Haru. Dan banyak emosi lainnya yang menyentuh hati. Bagaimana tidak, hidup dengan keterbatasan indra itu tidak mudah.

Selain mengalami hambatan dalam berkegiatan, kekurangan indra tak jarang juga menggangu psikologis mereka. Rasa minder, diejek orang sekitar, ancaman bahaya, terbatasnya akses umum, juga sempitnya kesempatan meraih prestasi jadi tekanan berikutnya yang menghimpit mereka. Itulah kenapa aku takjub sekali pada atlet-atlet asian para games. Mereka berprestasi dan yang paling mengagumkan itu, mereka berhasil mengalahkan kekurangan diri. Mampu membangkitkan sisi lain dari diri mereka yang tak dimiliki orang orang normal. Sangat tepat slogan yang dilabelkan, The Inspiring and Spirit of Asia. Mereka benar benar menginspirasi. Salut.

Dan, khusus untuk naskah ini aku mengintip kehidupan saudara difabel yang hilang indra pendengaran. Meski sudah pakai alat bantu dengar, itu ternyata tak bisa menggantikan fungsi telinga asli. Banyak suara suara berisik yang malah membuat kepala mereka sakit. Pusing. Banyak suara yang terdengar timpang. Dan bisa dibayangkan betapa sunyinya dunia ini tampa mendengar suara selintaspun.

Atau betapa meyesakkan hanya mendengar percakapan orang sayup sayup saja. Maka jangan ada lagi cemoohan untuk orang yang kurang pendengaran. Mereka itu sudah ‘tersiksa’ jadi mohon jangan siksa lagi dengan pandangan meremhkan dan merendahkan, menjadikan kekurangan orang jadi bahan becandaan. Ini peringatan untukku, juga untuk kita semua.

Dan untuk pesta olahraga kali ini, aku tak berharap banyak pada atlet atlet negri kita. Bisa menyaksikan mereka saja itu sudah prestasi menurutku. Kalaupun menang, tentu ini sangat luar biasa. Semoga negri yang sedang bersedih ini tertulari semangat mereka, terinspirasi dan tetap bangkit walau harus jatuh berkali kali. Semangat!

(gambar: internet)

Tinggalkan komentar