Pejuang deadline law VS Parkinson law?

Deadline jadi kata ajaib yang membuat orang orang bergerak demi menghadapinya dengan gagah. Ia adalah pagar api yang akan memanggang siapa saja yang tak menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Entah itu tugas kuliah, pekerjaan, atau apa pun yang diberi batas waktu.

Betewe, udah pada tahu kan ya apa itu deadline? Iyaps, deadline itu sama dengan tenggat waktu. Atau jangka waktu yang diberikan untuk menyelesaikan suatu tugas. Baik itu tugas sekolahan/kuliahan, kantor, atau yang lain.

Nah, di dunia kepenulisan juga ada yang namanya deadline. Deadline menyelesaikan suatu naskah. Baik deadline pribadi maupun deadline dari pihak kedua. Entah itu dari editor/penerbit, dari pihak penyelenggara lomba, atau dari pihak lain yang mesan naskah dari penulis bersangkutan.

Beberapa waktu belakangan ini saya terjerembab dalam kurungan deadline pihak kedua. Sementara saya juga punya deadline pribadi yang juga harus saya selesaikan. Tepatnya, saya ikutan sayembara menulis. Dikasih waktu sekian lama hingga berminggu minggu sebelum tenggat waktu tiba. Tapi saya malah malas malasan mengerjakan naskah.

Apa sebabnya? Banyak sih ya. salah satunya karena saya maju mundur antara pengen ikutan dan mundur saja. Ya, ada pertarungan batin dalam diri saya. Disatu sisi ingin sekali ambil bagian. Itung itung uji nyali dan kemampuan diri. Disisi lain, saya merasa tak sanggup dengan persyaratan yang diminta. Jadilah waktu berlalu tampa kepastian dan kesiapan naskah.

Lalu, dua hari jelang deadline, saya malah seperti terbangun. Saya memutuskan untuk ikutan saja. Semakin bersemangat saat teman seperjuangan juga memutuskan ikutan. Rasanya menggebu-gebu sekali di detik detik akhir itu. Mencoba apa salahnya? Begitu alasannya. Namun semangat saya diuji oleh kondisi kesehatan yang tiba-tiba ngedrop.

Iya, saya kolaps karena perut meradang habis makan cabe. Saya penyuka makanan pedas, tapi gak kuat kalau kebanyakan. Jadilah saya terkapar. Jarang jarang saya sakit sampai gak bisa bangun begitu. Dalam hati mulai curiga, apa Tuhan gak ridha saya ikutan? Apa saya gak diijinkan makanya dikasih sakit. Banyak hal buruk berkeliaran di kepala.

Teman seperjuangan bilang, tunggu sampai besok. Masih ada waktu sehari lagi. Ya udah, saya pasrah. Namun di kepala sudah berkeliaran konsep naskah yang akan saya kirim. Badan terkapar, tapi kepala tetap berpikir keras.

Di lain sisi, saya mencoba merelakan saja. Mencoba ikhlas untuk melewatkan kesempatan. Namun, semakin saya membunuh keinginan, semakin mencleng ide ide berjatuhan di kepala. Sungguh, ini siksaan bagi saya. Hari pun berganti. Kesempatan sehari itu akhirnya datang juga. Saya meraba raba kesehatan saya. Rasanya sudah bisa bangkit. Dan hari itu juga saya kejar ngetik naskah dan segala persyaratan yang diminta. Saya malah lupa kalau sedang sakit sampai ke sana kemari bawa motor demi mengumpulkan segala syarat.

Hingga akhirnya semua saya kirim lewat pos. Rasanya tak percaya bisa mengejar semua dalam sehari dalam kondisi lemas. Sempat saya cubit kulit lengan, ini mimpi bukan ya? Pulang dari pos, saya kembali ke kenyataan. Saya tumbang lagi. Tapi bodo amat. Yang penting saya berhasil mengejar deadline yang tinggal beberapa jam lagi saja itu. Saya lega luar biasa. Dan pasrah akan hasilnya nanti.

Ini bukan kisah satu satunya. Jelang beberapa waktu setelahnya, saya kembali di posisi yang sama. Ngejar deadline yang tinggal sehari lagi saja. Padahal dikasih waktu berminggu minggu juga. Dan, meski yang diminta cuma konsep, tapi cukup membuat kepala berputar keras. Yang awalnya gak niat ikutan, malah menggebu gebu jelang detik detik akhir deadline. Jadilah saya berpikit keras lagi. Mengorek ngorek isi kepala. Berdoa minta diturunkan ilham. Sampai sampai orang orang melihat saya dengan tatapan aneh. Namun untungnya saya dalam kondisi sehat kali ini. Tak separah ngejar deadline sebelumnya itu.

Jelang jam jam terakhir itu, akhirnya lampu neon di kepala saya nyala. Saya kejar secepatnya. Dan berhasil menuntaskannya sebelum jam terakhir. Sama seperti sebelumnya, saya lega luar biasa. Lega karena berhasil melangkahi deadline. Olalala…saya seperti dianugrahi the power of kepepet rasanya. Mengeluarkan kekuatan penuh di detik detik akhir. Ya, meski apa pun lah hasilnya. Hihi..

Seru. Namun kebiasaan ini cukup menguras energi saya. Capek. Kayak habis lari sprint seratus meter dalam waktu sempit. Walau ada sensasi seperti meliuk liuk dalam ombak besar dan akhirnya bisa selamat.

Nah, di dunia menulis orang orang seperti ini dilabeli sebagai pejuang deadline. Terdengar hebat, kan ya? Tapi percayalah. It’s not totally bagus untuk ditiru apalagi dijadikan kebiasaan. Cape banget. Kecuali untuk kondisi khusus, hal ini tentu dihalalkan.

Nah, ternyata ada yang berteori untuk keadaan semacam ini. Konon, tahun empat puluhan dulu ada seorang ahli yang mengerucutkan kebiasaan molor ini ke dalam teorinya. Nama teorinya Parkinson’s law. Berlaku untuk segala bidang yang memakai deadline waktu. Dan ini juga bisa diterapkan dalam dunia menulis.

Teori ini lebih mudah terpahami dengan melihat grafik ini, parkinson’s law vs pejuang deadline law:

parkinson's law vs pejuang deadline law

parkinson’s law vs pejuang deadline law

Jadi, menurut teori parkinson’ law ini jeda waktu bisa dipangkas dalam bebera hari. Misal, diberi deadline sebulan. Maka kita bisa mengambil waktu seminggu atau lebih saja di awal waktu. Pergunakan waktu seminggu itu seperti kita berjuang keras mengejar ujung waktu. (psstt, seperti perjuangan saya ngejar deadline di atas contohnya kali ya?).

Nah, deadline sebulan itu anggap hanya seminggu saja. Tanamkan ini dalam diri kita. Hingga kita berjuang seolah olah memang dikasih waktu seminggu saja untuk menyelesaikannya. Begitu selesai, dalam waktu realnya kita masih punya waktu sisa. Dan waktu sisa ini bisa dipakai untuk mengevaluasi hasil kerja kita. Tersisa waktu untuk perbaikan. Jadi gak ada yang namanya lelah hati dan pikiran seperti kasus saya di atas tadi. #ehh

Berbeda sekali dengan teori pejuang deadline di atas, bukan? Walau masing masing ada baik buruknya juga. Tapi akan lebih baik lagi jika sebagai penulis menerapkan teori parkinson’s law ini. Karena apa? Karena setelah menulis naskah kita butuh waktu pengendapan. Penulis butuh waktu untuk berjarak dengan naskah sebelum diakhiri. Jadi tersisa waktu untuk mengedit lagi dan lagi. Gak terburu-buru dan tunggang langgang jelang deadline.

Nah, sekian dulu dari saya soal parkinson’s lau vs pejuang deadline law. Moga manfaat. Makasi sudah mampir. Semangat!

2 respons untuk ‘Pejuang deadline law VS Parkinson law?

Tinggalkan komentar