Jika waktunya tiba

jam waktu

30 detik berturut-turut terjadi gempa besar, segeralah lari. Jangan tunggu aba-aba atau sirine lagi. Begitu kata kepala BNPB Sumbar beberapa waktu lalu.

Sabtu, di awal bulan februari ini gempa kembali menggunancag tanah Mentawai. Berturut-turut. Berevisentrum di wilayah megatrust yang digadang-gadang akan melahirkan gempat dasyat 9 SR. Berseliweran aroma ketakutan di sekitar saya. Kasak kusuk mengenai gempa. Rencana-rencana evakuasi dan semacamnya. Tak hanya warga akar rumput. Namun juga di tingkat atas sana.

Dengan asumsi cuma tersisa 1-2 menit saja untuk warga Mentawai sana untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Atau 30 menit-an bagi warga pesisir Sumatra barat untuk menghindari pantai. Sungguh berita yang tak enak didengar telinga.

Siklus yang harusnya sudah berakhir tahun 2007 lalu nyatanya masih menyimpan rindu dendam hingga sekarang. Masih jadi hantu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menelan banyak nyawa. Tak ada pilihan bagi kami warga di zona merah ini.

Mau pindah ke mana? Toh kehidupan kami memang terkonsentrasi di daerah pantai. Geografis Sumbar memang rawan bencana. Tak di daerah ketinggian dengan ancaman belahan sesar semangkanya yang mengancam pulau Sumatra akan terbelah dua jika ia menggeliat.

Tak juga daerah pantai dengan hantu megatrust Mentawainya. Mau lari ke mana? Satu-satunya jalan hanyalah berdamai dengan kenyataan, menjadikannya teman.  Teman yang akan membimbing diri ke wilayah terbaik yang bisa digapai. Teman yang menuntun lebih intens lagi kepada pengertian akan hakikat kehidupan ini.

Ini bukan pernyataan putus asa. Bukan! Tapi lebih ke menyadarkan, membangunkan jiwa yang terlelap selama ini. Bukankah berita kematian selalu menggetarkan kita? Mencubit-cubit kita untuk segera bangun? Bangun untuk menyadari bahwa kita manusia hakikatnya memang bukanlah makhluk bumi. Percuma saja berharap bisa hidup seribu tahun lagi jika itu hanya sebuah penundaaan atau penghindaran dari kenyataan sesungguhnya.

Tinggal di bumi hanyalah sebuah fase dari perjalan panjang jiwaku ini. Tapi apakah kita sudah benar-benar sudah membenamkan kesadaran ini sampai ke alam terjauh di jiwa? Entahlah.

Mengenai hantu megatrust yang mendekatkan kita pada kematian itu. Berangkali kita perlu melihat kematian dari sudut pandang lain. Bahwa kematian bukanlah untuk ditakuti, tapi disambut dengan cara terbaik yang kita bisa. Ini bukan pernyataan kesombongan. Bukan! Wahai diri, bukankah inilah momen yang tepat untuk kita bergerak menyiapkan kematian itu dengan indah?

Memang benar kita menakuti apa apa yang tidak kita ketahui, sepertinya halnya kematian itu. Kita memang takut pada hal hal yang tak bisa kita kontrol seperti peristiwa kematian. Tapi, dengan mengetahui bahwa Allah sangatlah maha penyayang, bahkan lebih besar dari kasih sayang ibu kandung terhadap kita, bisa sedikit menenangkan ketakutan?

Ya, ancaman dan balasan atas dosa dosa sangatlah mengerikan. Sedetik di nerakaNya amatlah mengerikan. Tapi, bolehkah kita melihat ke arah lainnya saja? Bahwa Dia yang maha pengasih pengayayang tak mungkin tega menyia-nyiakan cinta yang kita tujukan padaNya? Kalau begitu, kenapa tak menggunakan waktu tersisa ini untuk mereguk manisnya cintaNya sebanyak-banyaknya selagi di dunia? Dengan begitu semoga saja peritiwa kematian akan jadi momen pertemuan yang dirindu-rindukan. Bukankah hati yang terpaut erat akan menjadikan pertemuan sebagai tujuan perjalanannya?

Entahlah! Ini hanya cuap cuap saya pagi ini. Kau bisa menelannya mentah-mentah. Bisa juga membantahnya.

 

(gambar: nyomot gugel)

Tinggalkan komentar