Sepotong Senja

Senja

(Sebuah pesan dari masa lalu, entah berarti apa bagi ke-sekarangan…hmm mohon untuk tidak diartikan “apa adanya” ya manteman, makasiiih ^^)

Awan-awan beranjak membentuk penampakan-penampakan indah di cakrawala. Sudut-sudutnya berkilauan ditimpa cahaya matahari yang bersiap kembali ke paraduan. Ombak terus berkejaran ke tepian pantai, meninggalkan buih putih. Tak ada yang lebih caria dari pada Senja. Hanyalah senja.

Senja mengukir di atas pasir putih, berharap pesannya terhanyut oleh ombak, menjelma menjadi angin, melekat pada sang Matahari dan disampaikan kepada sang fajar. Namun Senja harus bersabar karena ia harus dilalui oleh sang Malam. Malam yang pekat, yang kepadanya lelah dan pekik tak bertuan diadukan. Malam yang kepadanya semua peraduan dipercayakan. Semua kesabaran dipertaruhkan. Malam yang ingin dilalui senja.

Pelan Senja merasakan bahunya dibelai angin. Ia bertanya pada sang Waktu, tak sempat sang waktu menjawab, sang pohon mengakui kebaradaannya.

“Akulah yang mengirimimu angin segar itu. Kau begitu kering. sang fajar takkan mau menoleh padamu. Ia hanya akan menyinari jiwa-jiwa cerah yang baru pulang dari peraduan malam.

Senja terpana menatapi senja. Di wajahnya terpapar jelas kelelahan dari perjalanan panjang.

Lihatlah aku senja! Aku tak terkalahkan oleh raksasa siang, tak bertekuk lutut oleh sang hujan. Akar-akarku terus tumbuh menghujam tanah. Batangku kuat menantang sang badai, dan aku tetap hidup.

Senja jatuh kagum, Apa rahasiamu wahai sang pohon?

Wahai Senja, lihatlah, itu semua karena aku selalu berdamai dengan segala suasana. Sang perkasa siang selalu memberiku umpan untuk meninggi padahal ia panas. Sang hujan sesekali datang menyiramiku menyegarkan jiwa padahal ia membasahi. Sang tanah sangatlah dermawan menghidupiku dengan nutrisinya padahal ia berdebu. Dan sang badai datang tanpa diduga melatih keperkasaan dan kelenturan batang rantingku padahal ia kasar…,

Kau istimewa wahai Pohon. Kau lupa satu hal, kau tak hanya menerima tapi juga memberi. Udara yang kau hembuskan begitu menyejukkan. Engkau begitu istimewa, ujar Senja.

Dari semua itu, kaulah yang teristimewa wahai Senja, kau memberiku warna-warni yang hanya ada di penghujung hari. Walau hanya sebentar saja tapi membuatku berkilauan ditimpa matahari senja. Kau menbuatku terlihat istimewa. Wahai Senja, ukirlah berita, lukislah di pasir basah itu, lautan akan menjemput dan membawanya kepada sang fajar. Sekarang mendekatlah, angin segarku akan mengantarmu ke peraduan malam. Lelaplah, bersahabatlah dengan sang malam. Ia tak segelap yang kau kira. Ada sang bulan dan ribuan sang bintang di sana, dan bermimpilah!! Mulailah mengukir!!!

Akan tetapi aku ragu apakah rinduku pada sang fajar hanya rindu memeluk bulan. Apa mungkin sang fajar mendekap senja di pantai ini?! Selamanya senja tak akan menyatu dengan sang fajar, begitulah aturannya.

Berlari di kejauhan, sang waktu menderu, Wahai Senja, akulah sang waktu, lukislah, tulislah, senja takkan lama. Ukirlah karena kau adalah Senja, bukan sang Senja yang mungkin akan bertaut kepada fajar yang bukan sang fajar.

Senja memejam mata, beranjak ke dalam dirinya. Pantai itu hening, hanya ada Senja yang menulis berita kepada sang fajar. Hanya ada senja…

 

Tinggalkan komentar