Uang Jemputan Ranti (cerpen Horison)

Uang jamputan Ranti, gak sengaja nemu di situs Tabloid Sastra. Ini cerpen saya tulis sekian tahun lalu, jadul sih, tapi gak papalah disimpan di sini. Banyak kurangnya, harap dimaklumi ya hihi.. ohya, ini bukan kisah nyata, namanya juga fiksi, yess?
Kategori: Cerpen Diterbitkan: Selasa, 13 November 2012 – Horison. Ditulis oleh Eci F

“Kamu itu pemilih betul, ndak tau kamu umurmu itulah gaek. Ndak ada yang akan mau sama kamu lagi jika sudah berumur. Kau tau Amak dulu seumur kau ini sudah beranak tiga. Ah percuma kau Amak sekolahkan, jodoh saja tak bisa kau dapatkan.” Amak beranjak ke dapur setelah merasa percuma berdebat dengan Ranti anak gadihnya yang belum kawin itu.Amak benar benar tak mengerti apa yang tengah bergumul di batin anak gadisnya. Sebuah peperangan yang takkan usai sebelum semua berakhir indah pada waktunya. Sebuah peperangan satu melawan sekian ratus atau ribu masyarakat daerahnya. Setidaknya begitulah pikiran Ranti.
Amak Saidah datang sudah untuk yang keempat kalinya menemui Amak Ranti. Amak hanya bisa berjanji akan menjinakkan hati anak gadisnya yang keras kepala itu. Bagi Amak kedatangan Amak Saidah menanyakan kesediaan Ranti menjadi menantunya adalah sebuah hadiah luar biasa, ibarat punduk kejatuhan bulan. Adat kebiasaan di daerah itu mewajibkan pihak perempuanlah yang datang meminang kepihak lelaki. Pihak perempuanlah yang harus datang mengemis-ngemis minta anak gadisnya dikawini dengan diimingi sejumlah nominal uang, setidaknya begitulah pikiran Ranti. Dan kesempatan emas itu hadir di depan mata. Anak bujang Amak Saidah seorang pegawai negri sipil yang baru terangkat satu tahun. Sudah banyak yang datang menanyakannya tapi entah kenapa hati Amak Saidah lebih memilih Ranti sebagai menantunya. Menurut Amak Saidah perilaku Ranti yang tenang akan bisa merubah perangai anaknya yang suka hura hura dan manja.
***
“Apa juga yang kau tunggu lagi Ranti? Kau kira umur kau itu masih muda? Tak iba kau sama Amak kau yang sudah tua? Sudah berbusa muncung orang kampung menggunjingkan kau. Tak malukah kau, lihatlah kawan kawan kau sudah beranak empat kau sekeratpun belum. Percuma saja kau sekolah tinggi menghabiskan duit tapi laki tak ada. Dan satu harus kau ingat, jika kau tak mau kawin dengan si Sawan anak mak Saidah kau harus ganti seluruh kepeng biaya haji Amak kau untuk tahun depan padaku.” Mak angah terus saja mengumpat bagai botol kaca pecah berderai-derai dentingannya memekakkan telinga setidaknya itu bagi Ranti yang sudah kenyang dinasehati mamaknya yang dituakan dikampung itu. Ranti memang banyak dibantu Mak Angah tapi yang ia tau Amaklah yang bekerja membanting tulang selama ini membiayai kuliahnya. Amak hanya meminjam kepeng Mak Angah tapi ketika Amak menggantinya Mak Angah tak mau menerima, jadi utangkah namanya. Rantipun bingung dengan hukum balas budi ini. Jika sudah begitu Ranti biasanya hanya diam tak bergeming seperti patung manekin yang siap dilecut atau bahkan bisa serasa luka disiram air cuka, setidaknya begitulah rasanya tiap kali dinasehati Mak Angah. Tidak seperti biasanya hari ini Mak Angah tak berpanjang lebar. Biasanya Mak Angah menguliti Ranti dengan mengungkit ungkit dan menagih biaya sekolah yang diberikan Mak Angah padanya dulu. Lalu membandingkan Ranti dengan Murni anaknya yang sebaya Ranti yang sudah beranak empat dan bersuamikan pns. Namun, kalimat terakhir Mak Angah terasa bagai ribuan pedang menancap sekaligus di hati Ranti. Bagaimana mungkin ia membatalkan rencana Amak untuk naik haji tahun depan. Naik haji adalah impian terbesar Amak. Dari mana ia akan dapat uang sebesar itu dalam waktu singkat sedangkan sekarang ia tak terikat gaji apapun.
***
“Ranti, beruntung kau berotak encer. Kau akhirnya disekolahkan oleh Etek hingga perguruan tinggi. Kau pasti senang sekali bukan?!” ujar Murni suatu hari ketika Ranti bertandang ke rumahnya menemani Murni yang sedang sibuk di dapur.
“Alhamdulillah, semua juga berkat dukungan kau hingga Mak Angahpun juga banyak membantuku.” Jawab Ranti yang tengah duduk di pintu dapur berusaha bijak dan berhati-hati kepada Murni yang dikenalnya berhati sensitif.
“Seandainya aku bersekolah tinggi macam kau mungkin nasibku takkan begini.” Keluh Murni
“Apa maksud kau Mur? kau tak boleh menyesali takdir. Hidupmu sudah senang sekarang, kau sudah bersuami dan sudah beranak empat pula. Kau lihatlah aku jangankan beranak empat sekeratpun tidak.” Ujar Ranti menirukan kalimat Mak Angah tempo hari
“Tapi kau merdeka Ranti, kau bebas melakukan apa yang kau suka. Aku menyesal kenapa dulu aku mau saja dikawinkan oleh Abak. Sesak rasanya, ingin aku kabur saja tapi aku iba pada anak anakku.” Keluh Murni lagi
“Bukankah kau dulu begitu bahagia? Kau menolak tawaran Uni Ida untuk ikut kursus program komputer satu tahun di Jakarta. Kata kau percuma sekolah toh ujung ujungnya berakhir di dapur juga.” Ranti terkejut dengan pengakuan Murni sepupunya itu.
“Itulah yang membuatku menyesal kenapa dulu aku termakan omongan Abak. Abak bilang anak perempuan tak harus sekolah tinggi. Balaki adalah prestasi mulia dan jika ada yang mau berarti beruntunglah perempuan itu. Waktu itu aku merasa aku perempuan paling beruntung sedunia. Laki laki itu mau padaku, tidak tertarik padamu. Padahal dulu abakmenanyakan dia selain untukku juga untukmu Ranti. Aku merasa menang karena dia lebih memilih aku. Katanya aku lebih cantik dari pada kau.” Murni terus saja berceloteh mengacau gulai ditungkunya tanpa tau rona wajah Ranti yang memerah karena terkejut mendengar isi hati perempuan sepupunya itu.
“Apa yang membuatmu tak bahagia Mur? Kulihat suamimu baik dan ramah pada kau dan anak anak.” Selidik Ranti
“Heh ramah?! Selain ramah dia juga pandai berminyak air pada abak. Itulah sifatnya. Kau tau apa yang dikatakannya tadi pagi padaku? Katanya ia menyesal kenapa tak kawin dengan kawan sekantornya saja. Kawan sekantornya walaupun tidak cantik tapi sudah golongan tiga dan PNS pula. Sedangkan aku hanya tau urusan dapur dan melahirkan anak satu setahun.” Murni berlinang air mata.
Ranti kaget luar biasa. Bagaimana mungkin pria yang dikenalnya sangat ramah dan penyayang pada anak anaknya itu tega berujar seperti itu pada sepupunya yang elok budi dan cantik luar biasa itu. Kecantikan Murni tak akan diragukan oleh mata manapun. Wajahnya ayu, manis bertubuh tinggi langsing meski telah beranak empat. Kulit putihnya berkilau seperti kilau senyum lugu yang selalu ditebarnya pada setiap orang yang ditemuinya. Dan abaknya, mak angah mana mungkin membiarkan anak kesayangannya ini diinjak injak lelaki. “Ah, mungkin Murni sedang penat saja dengan rutinitas rumah tangganya” batin Ranti mencoba tak percaya.
“Kau tau Ran, sekarang uang jamputan untuk PNS melambung tinggi. PNS hanya akan mencari istri yang PNS juga. Jadi kalau kau tak PNS ilanglah kesempatan kau bersuamikan PNS.” Ujar Murni polos.
“Memangnya berapa uang jamputan untuk PNS itu?” Tanya Ranti seperti ingin tau padahal tak ingin tau menau.
“Tergantung Mamaknya, kalau ia orang terpandang tentu jamputannya tinggi juga. Tergantung posisinya juga dan tergantung pacaran atau tidaknya.”
“Pacaran?” Ranti kaget karena selama ini pacaran telah ia coret habis dari kamusnya. Pacaran adalah perbuatan haram dilarang agama dan buang-buang waktu saja. Tapi bukan berarti Ranti benar benar bebas dari romantisme cinta masa muda. Pernah dulu sewaktu kuliah ia tertarik pada seniornya yang begitu santun. Sedikit bicara tapi sekalinya bicara bidadari bisa jatuh ke tanah olehnya karena lupa mengepakkan sayap. Pria itu ramah dan sangat taat agama. Dan pastinya berwibawa. Ah betapa inginnya Ranti diperhatikan olehnya, tapi mana mungkin dilirik saja tak pernah. Ranti telah tersihir pesona Raihan. Hampir semua kegiatan di luar kuliah yang diikuti Rai juga diikutinya. Rai begitulah mereka memanggilnya. Pria gagah tinggi berkulit kuning, selalu menyandang ransel dengan sedikit janggut di dagunya. Ranti bahkan berkeinginannembak bang Rai seperti teman sekosnya yang mengalami demam yang sama pula dengannya. Setidaknya waktu itu Ranti berfikiran kalo tak dicoba mana kita tau. Tapi untung hal itu tak dilakukannya karena Rai bukanlah pria yang tega mempermainkan cewek dengan berpacaran. Ranti memutuskan bergabung dengan organisasi keagamaan yang ada di kampus, disana ia tau pacaran itu ternyata terlarang dalam agama. Dan sering dalam kesempatan diskusi mereka malah terlibat adu mulut karena sering tak sependapat. Ah mana mungkin mereka bisa bersatu, setidaknya begitu pikir Ranti.“Iya pacaran. Eh ngomong ngomong siapa pacar kau sekarang Ran? Kau kenalkanlah padaku. Kenapa kau belum juga memutuskan menikah?” Tanya Murni
“Tidak ada.” Jawab Ranti singkat. Ranti seolah merasa baru saja pulang kampung setelah berabad-abad tak pulang dan menyaksikan semua hal telah berubah.
“Masa selama itu kau di kampus tak dapat pacar? Apa saja kerja kau disana, belajar teruskah? Oh sepupuku tak kusangka kau sepolos ini.” Ujar Murni yang membuatnya terkesiap dengan nilai lugu yang disematkan padanya oleh sepupu yang malah dinilainya lugu juga.
“Hehehe…!” hanya disambut tawa kecil oleh Ranti
“Kalau begitu apa lagi yang membuatmu ragu terima saja lamaran mak Saidah. Kukira kau menolaknya karena kau punya pacar. Kata Abak, Mak Saidah tak minta uang jamputan banyak banyak hanya dua puluh juta saja karena kau sarjana.”
“Apaa?!!”
“Kalau kau mau honor jadi PNS kurasa Mak Saidah tak keberatan menguranginya, kau pikirkanlah masak masak. Zaman sekarang susah cari lelaki buktinya kau yang sarjana saja tak laku-laku. Kudengar Amak kau akan menjual palak karambiapeninggalan abak kau untuk uang jamputan. Separo palak dulu telah dijualnya juga tak tau aku untuk apa.” Terdengar bak sebatan pedang membentur keras dinding hati Ranti. Seketika hatinya gemuruh mendengar logika polos sepupunya. Ranti tau Murni tidak sedang memojokkannya. Ranti tau kualitas ketulusan sepupunya itu. Satu hal itu yang membuatnya terhenyak bagai karam di lautan hingga dadanya sesak. Kenapa uang yang jadi standar bahkan pernikahan yang setidaknya bagi Ranti teramat suci dan sakral malah diperjualbelikan. Bahkan bisa dilakukan tawar menawar tak ubahnya seperti membeli kacang di pasar. Teringat momen ketika disebuah kamar kos, temannya sekamarnya yang tidak berasal dari satu daerah bertanya dari mana asal budaya uang jamputan. Lalu ia menjelaskan bahwa uang jamputan bukanlah bagian dari adat budaya, hanya kebiasaan yang turun temurun. Asalnya karena di suatu waktu zaman dahulu jumlah lelaki yang dianggap mapan sangat sedikit, tak mau anak gadisnya jadi perawan tua maka pihak perempuan mengiming-imingi pihak lelaki dengan sejumlah angka. Kebiasaan itulah yang berlanjut sampai sekarang. Yang kemudian mengakar menjadi tradisi turun-temurun. Begitu ia menjelaskan secara rinci kepada teman satu kamarnya. Ranti merasa tersinggung jika ada teman dari daerah lain yang menertawakan dan mengejek kebiasaan uang jamputan di daerah asal yang sangat ia banggakan ini setidaknya itulah yang ia rasakan dulu. Namun, sekarang sepertinya ia harus sefaham dengan temannya yang menertawakan itu.
“Tak usah kau pikirkan aku Mur.” Ujar Ranti lunglai tak bergairah
“Tak usah pikirkan bagaimana? Kau itu sepupuku, penat mulutku membela kau setiap kali dilepau induak hinduakmenggunjingkan kau. Mereka bilang kau terlalu pemilih bahkan ada yang bilang kau kena santuang palalai. Sakit hatiku mendengarnya. Ingin kulumat mulut mereka tapi apa dayaku mereka lebih tua-tua dariku.” Ujar Murni berapi-api. Ranti benar benar yakin sepupunya ini memang ada dipihaknya.
“Biarkan saja. Nanti juga penat sendiri.”
“Lalu sampai kapan kau menggadis? Umur kau beberapa tahun lagi hampir tiga puluh. Atau ada seseorang yang kau tunggu?” pertanyaan Murni mengingatkannya kembali pada persoalan yang belakangan ini menggelayut dibenaknya. Rai, pria yang pernah digilainya itu melamarnya lewat sepucuk surat. Bagai durian runtuh tangan Ranti bergetar mengeja huruf demi huruf. Inilah momen yang dinantinya selama ini. Sudah hampir satu minggu surat bersampul biru itu ia sematkan dihalaman buku diarinya. Maksud kedatangannya ke rumah Murnipun sebenarnya ingin bercerita masalah ini. Tapi entah kenapa ketika Murni sudah membuka kesempatan bibirnya kaku untuk bercerita. Kaku karena Murni ternyata juga terasuki pemikiran yang sama setidaknya pemikiran seperti itu bagai racun yang harus ditenggak Ranti.
Sebuah momen malam itu yang selalu mengerutkan urat syarafnya. Malam itu ketika rembulan bersinar penuh Amak dan Ranti tidur disatu ranjang. Perlahan Ranti memberanikan diri membuka jalan. Jalan akan sebuah kemungkinan.
“Mak?”
“Uh!”
“Kalo menantu Amak orang biasa dan tidak kaya gimana?” tanyanya ragu ragu
“Yang penting dia PNS!” jawab Amak seketika tersadar dari tidurnya yang tadinya masih melayang layang.
“Ya sudahlah, Amak tidurlah lagi!” ujar Ranti malam itu.***
“Hei Ranti..!!! kau bermenung rupanya. Khehkhehkheh…kenapa kau ini?” Tanya Murni mengguncang guncang bahu Ranti
“Eh kau bilang apa tadi Mur?” ucap Ranti bangkit dari lamunannya
“Ku bilang kalau begitu kau terima saja lamaran Mak Saidah. Nah kapan kau akan beri jawaban ke Amak Saidah? Dan kapan tanggal kawin kau?” Tanya Murni
“Iya secepatnya. Aku pulang dulu seharian di rumahmu Amak pasti bingung mencariku.”
“Alhamdulillah….akhirnya kau mau juga kawin. Amak Saidah pasti senang tak kepalang.” Ujar Murni saat Ranti sudah berada diluar pintu dapur.

Ranti sudah membuat keputusan. Ia akan menerima lamaran itu. Seperti janjinya setelah wisuda waktu itu, ia akan mengabdi pada kampung halamannya. Memajukan daerah dan membahagiakan Amak. Hanya ada Amak dalam hidupnya sekarang. Ia akan memberi Amak cucu seperti hampir setiap hari yang selalu terlontar dari mulut keriput Amak. Ia akan menikah dan menghentikan gunjingan gunjingan Amak-Amak dilepau. Ia akan menyicil biaya kuliah yang diberikan Mak Angah padanya selama ini dengan menekuni hobbynya menulis. Amak tak mungkin berutang, ia kenal betul karakter Amaknya. Ia akan tetap berada di rumah baginya rumah adalah tempat yang tepat baginya sebagai seorang perempuan, setidaknya begitulah menurutnya. Ia akan berusaha membuat Amak selalu bahagia meskipun suaminya bukanlah seorang PNS.

Catatan: uang jamputan=uang yang diberikan oleh keluarga calon mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki sebagai uang hilang dalam budaya Minangkabau (MK). Tradisi ini hanya berlaku di Pariaman.

Mak Angah= Sapaan kepada saudara lelaki Ibu yang nomor dua atau nomor tiga (bahasa MK)

Amak= panggilan kepada Ibu (MK)

Palak=kebun (Bahasa MK dialek Pariaman)

Uni=sapaan kepada saudara perempuan yang lebih tua (bahasa MK)

Sumber: http://horisononline.or.id/id/cerpen/58-uang-jamputan-ranti

https://tabloidsastra.wordpress.com/tag/eci-fatma/

Tinggalkan komentar