Berkunjung ke Istano Pagaruyung Minangkabau

20180630_153733.jpg

Seperti anak burung pulang ke sangkarnya, kupenuhi panggilan bundo yang memanggil-manggilku pulang ke rumah gadang. Begitu megah, indah istano pagaruyung kito, bundo. Rasa rindu ini memuncak begitu kuinjakkan kaki di anak tangga pertama. Ruang dengan puluhan tiang penyangga menyambutku hangat. Membuatku lupa pada adat kebiasaan membasuh kaki sebelum menginjak tangga rumah gadang. Namun bundo kanduang membiarkan saja kekilafanku itu berlangsung. Seperti tamu adat yang disambut dengan tari galombang maupun carano berisi sirih pinang, bundo tetap membiarkanku berlari ke pangkuannya.

Benarlah kata orang, bundo kanduang seorang limpapeh rumah nan gadang, hatinya begitu lapang memaafkan, begitu bijak. Dari puncak kedudukan di tengah rumah gadang, matamu awas menelisik ke seluruh penghuni ruang. Tak bundo biarkan seorang pun terjerembab dalam kerendahan. Andaipun itu terjadi, bundo akan panggili mamak-mamak, cerdik pandai alim ulamo beserta dubalang, membicangkan segala persoalan di tengah-tengah rumah nan gadang, hingga tercapailah kesepakatan.

 

Siang menjelang sore, begitu banyak pengunjung yang datang kekediaman raja istano pagaruyung kito ini. Mereka bilang istano ini hanya replika dari istano sebenarnya. Namun bagiku sama saja. Aku sedang berada dalam istana kerajaan Minangkabau di masa lampau. Tempat bundo kanduang melahirkan dan mendidikku menjadi seorang perempuan minang sebenarnya.

Dan tahu, kah, bundo? kali ini kuakui, bundo begitu cerdik mengakaliku. Bagaimana tidak, bundo selipkan pengajaran dalam setiap detil istano ini. Masuk ke istano silinduang bulan, pagaruyung bagai masuk ke dalam dunia penuh simbol. Setiap sudut yang kulihat seakan berbicara. Bahkan udara yang kuhirup pun mengirimkan pengertian-pengertian yang kemudian merasuk ke aliran darahku dan bersemayam di sana. Ada beratus-ratus jenis ukiran kutemui di banyak permukaan bangunan istano. Dan setiap ukiran itu menjejaliku dengan pelajaran hidup yang luput kupahamkan selama ini. Bahkan pada warna yang melapisi ukiran indah ini pun tak luput dari perlambangan.

“Ah, bagaimana bisa bundo secerdik ini? Menjejaliku dengan begitu banyak petuah tampa suara?”

“Alam takambang jadi guru, Nak,” begitu jawab bundo mengisyaratkan.

Dinding-dinding penuh dengan ukiran. Semua terinspirasi dari alam. Dari hewan, itiak pulang patang, ruso balari, tupai managun dan banyak lagi. Dari tumbuhan, aka barayun, kaluak paku, kacang balimbiang, dan lainnya. Bahkan bundo begitu cerdik mengambil makna dari benda-benda keseharian, dari ampiang taserak, saik galamai, dan begitu banyak lagi peristiwa keseharian yang dituangkan dalam motif ukiran. Alam takambang jadi guru. Jika ingin selamat di dunia, hiduplah selaras dengan alam, begitu petuahmu selalu.

 

2 respons untuk ‘Berkunjung ke Istano Pagaruyung Minangkabau

Tinggalkan komentar