Ketika Penyandang Disabilitas Mengakses Informasi Publik


“Lihat orangnya, bukan labelnya”
(Dr. Temple Grandin)


Sekilas petikan di atas terkesan biasa-biasa saja. Namun jika direnungkan, akan terasa dalam dan menggugah. Sebab petikan ini milik seorang Temple Grandin yang seorang penyandang disabilitas. Entah sudah seberapa banyak pelabelan yang ia terima dalam hidupnya hingga terlontar ucapan seperti di atas.


Beliau adalah ilmuan yang dikenal sebagai penemu alat terapi autis. Sewaktu kecil, ia benci sekali jika disentuh, mudah marah, dan sangat pendiam. Ia dinyatakan mengalami autis yang merupakan gangguan perkembangan sistem syaraf yang mempengaruhi kemampuannya dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehingga harus menerima perawatan dalam jangka waktu panjang.


Dr. Temple Grandin yang juga seorang penulis buku itu tak menyerah begitu saja pada kekurangannya. Ketika tinggal dekat peternakan, dirinya yang sangat peka pada suara dan kebisingan itu merasa memiliki kesamaan dengan kebiasaan sapi yang juga tak suka keramaian. Kecintannya pada hewan pada akhirnya membuatnya berhasil merancang sistim pemotongan sapi yang lebih manusiawi di AS dan Kanada.


Beliau seorang perempuan yang sangat inspiratif. Kelebihan dalam dirinya telah membuat kekuranganya jadi tak nampak. Maka ucapan, Lihatlah orangnya, bukan labelnya jadi terasa sangat menohok dan membuat malu siapa saja yang sudah memandang remeh dirinya maupun para penyandang disabilitas lainnya di dunia.


Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan orang memandang sebelah mata para penyandang disabilitas. Memandang dengan kacamata tak setara hingga merasa tak bersalah ketika mengenyampingkan hak-hak mereka. Padahal sejatinya semua orang berkedudukan sama. Baik di mata Tuhan mau pun di mata hukum dan negara.


Kisah Grandin ini membawa ingatan saya pada kisah perempuan disabilitas lainnya ketika berusaha mendapatkan informasi publik dari sebuah badan publik. Yang pada akhirnya membuat saya mempertanyakan keseriusan negara demokrasi ini dalam menjamin hak tiap warganya. Sudahkah negara menjamin sepenuhnya hak para penyandang disabilitas? Sebelumnya, kita ulang kaji dulu yuk, mengenai perundangan di bawah ini.

UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Hak atas informasi publik diatur oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) nomor 14 tahun 2008. UU KIP memiliki tujuan untuk menjamin kepastian informasi khususnya bagi masyarakat untuk mengakses informasi yang ada di badan publik.


Hal ini merupakan perwujudan dari amanat UUD 1945 pasal 28 F yang menekankan bahwa hak memperoleh informasi publik adalah hak asasi yang dilindungi undang-undang. Yang juga melingkupi hak-hak saudara-saudara kita para penyandang disabilitas.


Berikut ini infografi yang menjelaskan pengertian informasi, badan publik, dan lainnya berdasarkan UU KIP.

(Sumber: Kombinasi.net)
(Indonesiabaik.id)


Apa saja ruang lingkup hak atas informasi ini? ada lima poinnya. Antara lain, hak untuk mengetahui. Hak untuk menghadiri pertemuan publik. Hak untuk mendapatkan salinan informasi. Hak untuk diinformasikan tampa harus ada permintaan. Dan, hak untuk menyebarkan luaskan informasi.

(Baca juga “Minta Informasi ke Badan Publik? Siapa Takut!”)

Hak Informasi bagi Penyandang Disabilitas
Ada sekitar 17 juta orang penduduk Indonesia yang jadi penyandang disabilitas. Dan hampir setengahnya menyandang disabilitas ganda. Angka yang tidak bisa dibilang sedikit dan butuh perhatian besar serta keseriusan para pemegang kebijakan.

Sedangkan di Sumatra Barat sendiri ada sekitar 197.134 orang penyandang disabilitas. Saya pikir jumlahnya bisa jadi jauh lebih banyak dari angka yang tercatat saat ini.


Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 juga menyatakan bahwa, penyandang disabilitas memiliki hak berekpresi, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi melalui media yang mudah diakses berupa bahasa isyarat, braile, dan lainnya.


Pasal 88 dalam Perda Provinsi Sumatra Barat nomor 3 tahun 2021 tentang Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas telah menetapkan bahwa,
Penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan publik dengan fasilitas dan perlakuan yang optimal, wajar, dan bermartabat tampa diskriminasi bagi penyandang disabilitas, yang meliputi:
a. Pendampingan, penerjemahan, asistensi, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tampa biaya tambahan.
b. Penyediaan prasarana dan sarana yang mudah diakses bagi penyandang disabilitas.


Fasilitas yang dimaksudkan pasal di atas seperti, kursi roda, jalur landai, ekskalator landai, handrail sepanjang ram, huruf brale di tiap instrument, piranti lunak bicara, running teks pada lift, ruang tunggu khusus, tempat duduk khusus, toilet khusus, parkir khusus, informasi melalui radio, website yang dilengkapi screen reader, dll.

Berikut ini saya comot contoh formulir layanan disabilitas di website PPID Pengadilan Agama A1 Padang yang sudah ramah disabilitas.


Kisah Disabilitas Mengakses Informasi
Siang itu seorang perempuan paruh baya datang ke kantor desa dengan harapan membawa pulang informasi yang selama ini ia nantikan. Oh ya, sebenarnya saya dapatkan cerita ini dari kerabat saya. Hari itu ia ada keperluan di instansi tersebut dan melihat langsung kejadiannya. Masih dalam kawasan Sumatra Barat.


Nah, saat itu kantor tersebut sedang ramai oleh antrian warga. Kerabat saya juga kurang paham mereka sedang mengantri untuk apa. Dalam bayangan saya, Si Ibu paruh baya ini bergabung dengan warga lainnya lalu terlibat obrolan. Entah itu dengan tetangga atau warga lain yang masih satu desa dengannya. Cekakak cekikik lalu tahu-tahu namanya dipanggil, urusannya pun selesai. Lantas pulang dengan wajah senyum.


Tentunya tak akan terasa lamanya waktu menunggu jika sudah terlibat obrolan. Biasalah ya, khasnya emak-emak yang tak akan puas jika belum mengeluarkan puluhan ribu kata dari kepala.

Namun ternyata bayangan saya tak sama dengan realitanya. Si Ibu tak asyik mengobrol, melainkan marah-marah. Matanya melotot seakan hendak copot. Mulutnya menceracau dengan suaranya tinggi membuat suasana kacau. Sambil berkacak pinggang menunjuk-nunjuk. Silakan bayangkan situasinya seperti apa.


Usut punya usut. Si Ibu ini rupanya tak puas dengan pelayanan informasi di instansi tersebut. Ia menuntut informasi yang sudah lama ia tunggu. Kalau tak salah mengenai uang bantuan.

Entah karena sedang mumet atau sibuk, seorang bapak-bapak, pejabat desa, terpancing amarahnya. Ia balik membentak Si Ibu dan memarahinya tak kalah garangnya. Singkat cerita, Si Ibu ini pulang sambil terus menceracau di jalan. Tak terbayang air mukanya sekeruh apa.


Kepada kerabat saya, si pejabat desa ini mengaku kelepasan. Harusnya ia tak terpancing, katanya menyesal. Bak telur yang sudah retak, tak mungkin bisa diperbaiki lagi seperti semula. Si Ibu terlanjur sakit hatinya. Terluka perasaannya. Hati perempuan mana yang tak hancur dibentak-bentak begitu? Bayangkan jika itu ibumu.


Orang-orang di sana memaklumi kemarahan si pejabat desa ini. Sebab sikap Si Ibu ini tak sopan dan berlebihan. Mungkin teman-teman juga berpandangan sama. Namun apakah akan tetap berpikiran sama setelah mengetahui fakta mengenai Si Ibu ini? yuk, lanjut, yuk.


Saya cukup kenal Si Ibu ini. Berperawakan tinggi, good looking, berat badannya terjaga, intinya beliau ini body goalsnya emak-emak jaman now-lah ya. Di usia kepala lima ia masih lincah bergerak dan cekatan. Tak ada yang kurang dari fisiknya, mau pun panca indranya. Sama seperti orang kebanyakan. (Maaf jika terkesan subjektif).


Dulunya ia menikah dengan seorang penyandang disabilitas tuna rungu. Orang-orang bilang mereka pasangan serasi. Namun sayang pernikahannya tak bertahan lama setelah punya anak satu. Entah karena sebab apa.


Jika sedang berkunjung ke sana saya biasanya suka beli dagangannya, telur asin. Jika pandai mengambil hatinya, kita bisa dapat bonus tambahan darinya. Di mata saya beliau ini tipe perempuan mandiri. Hitung-hitungannya bukan main pedisnya, pintar walau tak sejenius Temple Grandin. Sejak pagi sudah mulai berdagang ke rumah-rumah warga. Berbekal suara keras dan kegemarannya bicara dan tertawa, ia mudah diterima semua orang.


Hanya saja ia punya sisi diri yang lain. Warga yang sudah mengenal karakternya hanya akan mengiya-iyakan saja ucapannya. Jika sudah tersinggung, Si Ibu ini bisa bicara sehari semalam dengan mata melotot dan suara kerasnya bisa terdengar sampai kampung sebelah.


Bahkan ada yang tega melabelinya “boco aluih” atau sedikit kurang akal. Ya, Si Ibu memang punya sisi lain yang membuatnya termasuk dalam kategori disabilitas. Tepatnya disabilitas mental.


Nah, kembali pada kejadian di kantor desa tadi. Tak seharusnya pejabat desa itu membentaknya sedemikian keras di depan orang banyak. Tindakannya sudah menjatuhkan mental orang lain. Apalagi ia sudah mengenal warganya itu dan hafal karakternya.


Bagaimana pun, sesalah-salahnya warga, tetap saja yang salah itu instansinya. Si Ibu seharusnya mendapatkan haknya seperti yang diatur undang-undang. Si Ibu punya kelainan kepribadian atau masalah kesehatan mental meski secara fisik terlihat normal.


Mernurut Undang-Undang nomor 8 tahun 2016, disabilitas adalah keterbtasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.


Perda Provinsi Sumatra Barat nomor 3 tahun 2021 tentang penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas menjelaskan ragam penyandang disabilitas mental. Meliputi, psikososial terdiri dari skizoprenia, bipolar, depresi, aspenger, anxietas dan gangguan kepribadian. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interasksi sosial, meliputi autism dan hiperaktif.


Penyandang disabilitas memiliki hak hidup, bebas dari stigma, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, politik, pelayanan publik, pendataan, bebas diskriminasi, dan hak lainnya yang dijamin undang-undang.
Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama, setara dengan warga lainnya dalam kehidupan bernegara.

(Baca juga “Tak Selalu Berhasil (Sebuah Pengalaman Mengakses Informasi Publik)”)


Untuk kasus Si Ibu, pihak instansi harusnya lebih peka dalam melayani kebutuhan beliau. Si Ibu harusnya mendapatkan perhatian khusus dan sebaiknya tak harus ikut mengantri bersama warga lainnya saat itu. Bisa dengan mekanisme jemput bola atau menyediakan petugas khusus yang bisa melayani kebutuhan beliau.


Dan, seandainya Si Ibu ini bukan seorang perempuan, apakah si bapak pejabat akan tetap berani menghardiknya seleluasa itu juga?
Sekali lagi ingin saya pertanyakan. Sudahkah kegiatan pelayanan informasi publik di setiap badan publik Sumatra Barat menyediakan fasilitas penunjang bagi saudara kita penyandang disabilitas? Saya tunggu jawabannya.
Sekian dulu, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Salam transparansi!

Tinggalkan komentar