Sepotong Senja

Senja

(Sebuah pesan dari masa lalu, entah berarti apa bagi ke-sekarangan…hmm mohon untuk tidak diartikan “apa adanya” ya manteman, makasiiih ^^)

Awan-awan beranjak membentuk penampakan-penampakan indah di cakrawala. Sudut-sudutnya berkilauan ditimpa cahaya matahari yang bersiap kembali ke paraduan. Ombak terus berkejaran ke tepian pantai, meninggalkan buih putih. Tak ada yang lebih caria dari pada Senja. Hanyalah senja.

Baca lebih lanjut

Dedak Randang

Rendang. randang. minangkabau. padang. indonesian food

 

 

Jadi begini ceritanya. *ehemm…*
Ibu menoyorkan potongan daging begitu santan mendidih. Sanduak, spatula kayu diserahkan padaku.
“Jangan kencang-kencang, hancur dagingnya nanti,” serunya menahan laju adukan-ku.
Kami sengaja memasak rendang (lebaran) dengan tungku kayu. Konon, rendang Baca lebih lanjut

Dari Bambu, Periuk, hingga Rice cooker (Alat masak dari masa ke masa)

Dari Bambu, Periuk, hingga Rice cooker (Alat masak dari masa ke masa)

Nasi, belum makan rasanya jika belum bertemu nasi. Ungkapan ini tentu diamini oleh kita-kita yang menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya. Kali ini saya tak akan bahas nasi, melainkan alat penanaknya saja.
Ada proses sejarah dalam sejumput nasi yang kita suap. Ada peluh yang menetes demi memperolehnya. Ada ketekunan dan kesabaran di balik nasi yang mengepul di hadapan kita tersebut.
Berikut perjalanan alat penanak nasi dari tempoe doeloe hingga sekarang;

Bambu
Bicara soal bambu, saya jadi tertarik mengulit sejarah singkatnya ‘lamang’ atau Baca lebih lanjut

Baling-baling Bambu View (Sebuah Sudut Pandang)

Baling-baling Bambu View (Cara Menentukan Sudut Pandang)

Baling-baling Bambu View
(Sebuah Sudut Pandang)

Baling-baling Bambu adalah istilah yang saya pakai guna melabeli “teori” yang saya temukan. Temukan? Hmm.. Untuk generasi manusia akhir seperti kita tentu saja hampir tak ada hal baru untuk ditemukan lagi.

Kecuali menemukan sesuatu dari hal yang sudah ada saja. Tepatnya, mungkin saya baru menyadarinya. Dan, begitupun halnya dengan teori Baling-baling Bambu ini. Bukan sesuatu yang wah bagi yang lain, namun sangat berarti bagi saya.

Sekitar delapan tahun yang lalu, ah saya lupa kapan persisnya. Yang jelas saat itu saya hobby sekali meringkuk di bawah selimut tebal. Sementara mata terus mengawasi pemandangan di luar jendela kaca. Kabut turun dari lereng bukit.

Lalu membuat kabur, samar-samar apa saja yang direnanginya. Biasanya, jika saya berdiri di luar rumah, saat berbicara atau bernapas panjang, akan keluar uap seperti asap dari mulut saya. Lalu resikonya, bernapas jadi sesuatu yang menyakitkan. Hidung mampet, oksigen tekor.

Mandi cukup satu atau sekali dua hari saja. Dan, hal semacam inilah yang saya nanti-nantikan tiap menginap di Sukarami-Solok sana, di pinggang bukit, jajaran bukit barisan yang berhawa amat dingin. Butuh keterampilan bernapas bagi warga pantai seperti saya agar tidak sesak.

Lalu? Lalu, penggemar Doraemon itu terhanyut dalam kantuk meski jarum jam terus Baca lebih lanjut

Untuk Sahabat

Apa bagimu arti sahabat? Yap. Ia, mereka, sahabat ialah yang selalu hadir dalam ruang terang dan gelap. Tapi bagiku sahabat lebih tinggi dari pengertian itu. Mereka seperti kiriman Tuhan yang datang tampa pambrih. Menawarkan telinga untuk kuisi keluh kesah. Melapangkan hati menerima kehadiranku yang berhati sempit. Menjulurkan tangan kala tak segerak pun aku mampu berdiri lagi. Menghapus bulir bening yang berhamburan dari kelopak mataku. Mereka tawarkan asa yang tak sejumput pun mampu kulihat dalam kelam. Menyoraki, masih ada hari esok yang penuh warna-warni. Menyemprotiku dengan semangat gempita. Memancing tawaku. Mengurai yang tak mampu kuurai. Semua kata kerja-kata kerja itu belum dan tak akan pernah tuntas menggambarkan arti kalian bagiku. Cukup kunyatakan, kalian adalah hadiah terindah yang dianugrahkan Tuhan dalam hidupku. Kalian adalah terang yang selalu saja tiba-tiba hadir tanpa kupinta. Ketulusan kalian telah teruji waktu. Ya, kadang kala memang ada saja momen menyebalkan. Ada saja yang membuat kita jadi renggang. Dan dengan jarak-jarak sementara itu pulalah kita saling menatap di kejauhan. Kalian selalu hadir seperti angin yang ditiupkan Tuhan kala dadaku sesak. Terkadang ada timbul ragu dalam benakku, benarkah kalian selapang itu menerima ke-taksempurnaanku? Lalu tanyaku bagai debu dihembus angin, sirna begitu kalian tampakkan rupa kasih tulus. Kalian telah teruji waktu. Kalian harta berhargaku. Ada kalanya kutunjukkan pongahku pada dunia. Aku tegar. Aku bisa sendirian. Aku mampu. Lalu kalian tiba-tiba hadir di sisiku, membisikki, “Kami datang untukmu, kami tahu kau tak sekuat itu. Kau hanya berpura-pura, jujurlah!” mengalahi lari kilat, benteng pasir di hatiku pun seketika runtuh tak berdaya. Aku memang tak pandai berbohong pada kalian. Bagi kalian aku bak kaca bening yang selalu bisa kalian baca dan terawang. Terkadang aku sengaja sembunyi dari kalian. Dan entah bagaimana caranya, kalian selalu menemukankanku di sudut terkelamku. Kalian selalu hadir tepat waktu, disaat jurang kehidupan nyaris menelanku. Kepekaan kalian terkadang membuatku iri. Aku juga ingin melakukan hal yang sama pada kalian. Namun di dunia ini ada tempat yang tak bisa tertukar, atau mungkin hanya bisa kuperankan suatu saat kelak. Dikala bahu ini telah terbangun kokoh, dikala dada ini menjelma kuat. Aku akan hadir mengambil tempat itu. Kepada kalian sahabat terindah, aku tak memliki apapun lagi sebagai penghargaan tertinggi selain ucapan terima kasih. Terima kasih telah hadir dalam terang dan gelapku. Terima kasih untuk segala kebaikkan kalian kemaren, kini, dan nanti. Terima kasih telah jadi sahabat baikku. Terima kasih telah menerimaku apa adanya. Doa terindahku selalu untuk kalian, semoga Allah Ta’ala berkahi pertalian ini hingga kita tua kelak, hingga nafas ini terhenti, hingga ke taman surgaNya kelak! From the buttom of my hearth, terima kasihku selalu untuk kalian…

Hukum Berat Pengedar (distributor) Narkoba! (sedikit pengalaman berkaitan tentangnya)

Masih hangat, media ramai membicarakan eksekusi mati para bandar besar narkoba. Freddy Budiman, namanya mencuat, terlebih setelah pengakuannya terkait terlibatnya oknum aparat dalam bisnis haram ini. Setelah eksekusi mati dijalankan, bertebaranlah artikel di media sosial, betapa dasyatnya taubat seorang bandar besar. Lafaz takbir ia ucapkan di akhir nafasnya. Qatam Quran beberapa kali ia tunaikan. Penampilan diubah. Ibadah terlaksana. Lalu beramai-ramailah jamaah fesbukiyah dan medsos lainnya membagikan, memuji betapa dasyatnya tobat seorang hamba.

Di sisi lain, pejuang hak azazi berupaya meringankan hukuman mati perempuan pengedar yang katanya hanya korban. Berbagai pertimbangan meringankan dicuatkan ke permukaan, demi batalnya hukuman ‘door.’

Baca lebih lanjut

Pengakuan Dosa

pengakuan dosa

Pagi jelang siang, di kelas yang dipenuhi siswa baru, saya mondar-mandir layaknya komandan tengah inspeksi. Tak lain tujuannya guna menebar hawa horor pada wajah-wajah polos mereka. Sebelum semua ritual tahunan dimulai, pasal mandraguna lebih dulu dibacakan. Pasal satu, senior selalu benar. Pasal dua, jika senior salah, maka kembali ke pasal satu. Apalagi tujuannya kalau bukan sebagai pagar, tembok diri. Ya, semua kita hafal betul dengan pasal yang dicipta entah oleh siapa ini. Dan anehnya semua seakan manut patuh pada kedua pasal ini. Satu dua ada juga yang melawan. Ruang tiga belas jadi ruang tawanan bagi yang coba macam-macam.

Siang jelang sore itu, saya tega sekali menghukum mereka. Mereka saya paksa makan telur rebus yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hukuman yang menyenangkan, bukan? Tapi tidak setelah seorang siswa baru jadi korban kemarahan saya. Dia sampaimuntah-muntah, mata dan wajahnya memerah, tubuhnya lemas, saking tak sukanya pada telur. Jujur saja, saat itu rasa bersalah tepatnya rasa takut mendera saya. Saya tak berpikir panjang sebelum memaksakan perintah.

Tapi anehnya itu anak gak bilang kalau dia alergi telur. Tak ada perlawanan atau informasi apapun yang ia keluarkan mengenai dirinya. Di titik ini, terlepas kami-kami ini adalah anak-anak kampung (daerah) atau bukan, saya merasa ada yang salah. Keberanian mengemukan pendapat, takut salah, takut ditertawakan, kuatir menyinggung perasaan, manut, tak berani membela diri sendiri, dan berbagai hambatan lainnya itu begitu kental mengungkung diri. Kenapa menunggu muntah-muntah dulu baru memberi tahu orang lain (bisik-bisik) soal kondisi diri? Takut akan dicatat dengan tinta merah? Takut bakal disakiti setelah proses belajar mengajar nanti dimulai?

Entahlah, yang jelas, saya dan para ‘pembalas dendam’ lainnya jelas-jelas tak punya kuasa apapun setelah masa orientasi itu berakhir.

[Read more…] Bertahun-tahun setelahnya, saya bertemu salah satu dari mereka, adik kelas laki-laki. Darinya saya tahu, cara saya memperlakukan mereka tidaklah sebaik yang saya sangka. Dia bilang saya pengospek judes, jutek, dan embel-embel tak enak lainnya. Padahal peristiwa itu berlangsung bertahun-tahun silam, tapi dia masih ingat. Padahal semua nasehat wajib itu demi kebaikkan mereka (*ngeles..ehh). Itu artinya tindakan saya membekas ‘buruk’ dalam kenangan mereka. Oh, Tuhan! Ternyata saya tak selembut yang abang-abang/ kakak-kakak saya keluhkan. Hiks!

Saya tak akan membela diri. Jika ini sebuah kesalahan, saya minta ampun pada kalian semua. Saya juga terlebih dulu melapangkan hati pada ‘pembalas dendam’ pengospek saya sebelumnya. Ya, kita sama-sama korban ternyata. Korban dari kegiatan ramah tamah ‘mengasyikkan’ yang entah apa dampak positifnya itu.

Saya juga pernah dihukum, disaksikan semua warga sekolah sambil ditepuki, disoraki beramai-ramai. Mereka semua tertawa. Bagaimana tidak, saya dan para pesakitan lainnya itu dipaksa lari keliling lapangan. Bayangkan, ini bukan lari biasa.

Lari dengan menyandang sepatu yang diikatkan kedua talinya di leher. Berlima, berenam, entahlah, saya lupa, dengan kaos kaki kami mengelilingi lapangan sambil meneriakan kalimat pengakuan dosa. Meneriakkan kalau saya gila. Kurang ajar sekali memang. Sampai-sampai setelah mos berakhir pun mereka masih meledek saya. Tahu, kesalahan kami apa? Ya, hari itu saya pakai kaos kaki warna coklat, harusnya putih. Senior perempuan waktu itu bukan main judesnya, pedas. ^^v

Dan ini bukan hukuman satu-satunya, pernah juga di suruh joget di depan orang banyak, apa-apaan coba. Waktu disuruh kumpul tanda tangan senior, banyak juga yang memeras. Menghargai tanda tangan meliuk-liuk mereka dengan sebatang coklat. Hahay, sudahlah ya. Ingat seru-serunya saja. Mereka pun ternyata juga korban dari senior-senior mereka sebelumnya. Nah, pertanyaannya, ini rantai kapan ada ujungnya? PR untuk kita semua. Gak mau dong ya, anak-anak kita jadi rantai ‘dendam’ berikutnya?

Kembali ke kelas di atas. Mumpung masih jelas teringat dan tak ada niat untuk melupakan. Sebelum karet di kepala menghapus kenangan lama. Jadi, sebenarnya telur yang mereka bawa itu prosedurnya bukan untuk dimakan sekali habis. Ah, saya lupa, kami punya tujuan apa dengan telur yang mereka bawa itu. Yang jelas, sebelumnya saya koar-koar gak jelas di kelas yang saya pegang. Saya memaksa mereka satu persatu menjawab pertanyaan yang saya sendiri saat itu tak bisa jawab. Aneh sekali memang.

Saya suka senyum-senyum sendiri jika keingat kejadian ini. Jadi orang kok suka sekali maksa. Sebenarnya sudah pernah ditanyakan ke guru kami. Tapi jawabannya terlalu tinggi untuk saya fahami. Jiwa saya masih sangat kerdil. Jadi yang kena imbas, ya anak-anak baru ini. Dan sebenarnya saya berharap adik-adik yang baca tulisan besar di papan tulis waktu itu masih ingat dan mencari tahu jawabannya. Karena jujur saja, sampai sekarang pun saya masih berkutat dengan pertanyaan tiga kata itu. Pertanyaan simple yang entah muncul dari mana. Tapi membuat dunia saya jungkir balik. Hanya tiga kata saja. Bunyinya, Apa Tujuan Hidupku?

Dan sekali lagi, tolong maafkan saya atas tingkah tak baik bertahun silam itu. ;( saya hanya ingin meninggalkan jejak, kenangan baik di benak kalian. Itu saja. Dan fyi, tulisan ini muncul setelah baca postingan tentang mos di medsos barusan. Dan saya setuju jika mos dihapuskan, diganti dengan program perkenalan yang lebih ‘mengena.’ Jangan lagi ada tindakkan tindas menindas di antara kita. *peace* 😀

Bercermin pada santan kelapa

FIlosofi santan kelapa

FIlosofi santan kelapa

  Dulu sekali, kami, saya dan almh. Nenek sering ke dapur bareng. Ke dapur, istilah lokal kami yang berarti beraktivitas di dapur. Entah itu memasak, mengadon, atau sekedar berbincang dengan tetangga sambil menunggu makanan matang. Saya yang cuma anak bawang di antara nenek-nenek dan mandeh, sering kebagian jadi pesuruh. Jika ada bumbu yang kurang maka sayalah yang diutus ke warung terdekat. Sebal? Tentu tidak. Sebab keluar dari sana berarti merdeka dari pekerjaan dapur itu. Tapi lebih seringnya nenek meminta saya mangukua, memarut kelapa dengan alat parut manual. Sebatang besi yang dibuat pipih ujungnya seluas sendok makan, dibengkokkan dengan permukaan menghadap ke atas. Pinggirannya bergerigi seperti mata gergaji. Besi panjang itu dipakukan ke balok kayu seukuran duduk orang dewasa.

  Butuh gaya khusus juga saat mangukua dengan alat ini. Salah satu lutut mesti ditumpukkan ke batang besi yang dibuat miring setinggi lutut itu. Lantas kedua tangan fokus di batok kelapa yang dipotong belah dua tersebut. Kelapa digesek-gesekkan ke mata besi hingga menghasilkan ampas. Ampas inilah yang akan jadi bahan santan untuk membuat gulai dan lainnya. Setau saya, kalau di rumah Ibu, kami biasanya tak serepot ini saat manggulai. Ada mesin parut listrik yang bisa disewa di pasar tradisional. Tapi nenek bukan orang yang suka hal instan. Buktinya saya wajib mencobakan alat ajaib itu. Mungkinkah ini balas dendam yang terselubung? :v

   Baca lebih lanjut

Yang Pertama

buku pertama

Bukankah segala sesuatu yang pertama selalu meninggalkan kesan? Pertamakali kelelep karena gak bisa berenang. Pertamakali naik pohon tinggi trus gak bisa turun. Pertama masak nasi trus gosong, misalnya. Hohoho.. *gak penting banget buat dikenang, yak?

Baiklah, tiba-tiba saja kepikiran buat nulis ini. Harusnya ditulis di hari buku kemaren, biar momennya pas. Tapi tak apalah. Karena ini menyangkut yang pertama, jadi kapanpun waktunya, ia tetaplah dikenang sebagai yang pertama. Jiahaaa…apalah…apalah.. 😀 (padahal kebetulan nemu aja)

Ini soal buku pertama. Buku pertama yang saya beli diluar buku pelajaran. Sebelum bukunya lenyap, diabadikan dulu di sini biar bisa dikenang. Agar tak terlindas lalu kau hilang dalam pusaran ruang waktu yang menyesakkan. Agar kau tetap abadi, bahkan ketika tulang belulang ini hancur dimakan tanah, kau tak ikut hilang.
Pssttt, apa dengan begini saya sudah syah diterima diperhimpunan tukang timbun kenangan??? :v :v :v

Sebelumnya, jangan kaget ya, tulisan ini akan berbau kanak-kanak level langit tujuh. ^^v

Baca lebih lanjut

Warisanmu, Apa?

warisanmu, apa?

warisanmu, apa?

Warisan, menurut KBBI berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik; harta pusaka. Jadi jelas, warisan tak hanya persoalan harta yang seringkali mengundang keributan diantara pewarisnya.
Dalam sebuah perjalanan pendek menuju bandara, saya dihadapkan pada sebuah pengalaman. Susunan bangku dibus itu dibuat 1-2. Kami, empat orang, naik di jalan dalam keadaan bus menyisakan beberapa bangku kosong saja di bagian belakang. Saya dapat bangku tunggal. Di belakang, adik saya berebut Baca lebih lanjut